Sabtu, 05 Desember 2015

Pusat Bumi

Planet bumi kita ini memiliki dua kutub, yaitu utara dan selatan. Bila kita membuat sebuah garis khayal atau imajiner yang menghubungkan dari kutub Utara kekutub Selatan dan kita hubungkan untuk seluruh keliling Bumi, maka akan diperoleh data untuk setiap 1 derajat akan terjadi perbedaan waktu selama 4 menit.
Garis khayal inilah selanjutnya yang digunakan untuk menentukan koordinat sebuah lokasi di Bumi bersama garis lintangnya. Garis ini dimulai dari kota Greenwich di kepulauan Greenland, Inggris (yang secara lazim dianggap sebagai bujur geografis nol derajat) dan garis imajiner tersebut disebutlah dengan nama garis bujur standar.
Waktu di garis bujur ini disebut sebagai waktu standar atau GMT (Greenwich Mean Time). Untuk setiap perbedaan garis bujur sebesar 15 derajat garis bujur, maka lokasi tersebut memiliki perbedaan waktu selama 1 jam. Semakin ke Timur maka perbedaan waktunya bertambah.

Ket. Gbr : Zona Waktu Dunia berdasar GMT
Melaui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.243 Tahun 1963 yang disempurnakan lagi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.41 Tahun 1987 dan berlaku secara efektif mulai 1 Januari 1988 jam 00.00 WIB wilayah Indonesia dibagi atas 3 bagian waktu. Pembagian waktu ini antara lain : Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah (WITA) dan Waktu Indonesia Timur (WIT).
1. Waktu Indonesia Barat meliputi daerah – daerah Tingkat I dan Istimewa di Sumatera, Jawa, Madura,  propinsi Kalimantan Barat dan Kalimanatan Tengah dengan waktu tolok GMT+07.00 jam dan derajat tolok 105° Bujur Timur.
2. Waktu Indonesia Tengah meliputi Propinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara dengan waktu tolok GMT+08.00 jam dan derajat tolok 120° Bujur Timur.
3. Waktu Indonesia Timur meliputi daerah – daerah Tingkat I di Maluku dan Irian Jaya dengan waktu tolok GMT+09.00 jam dan derajat tolok 135° Bujur Timur.
Ket. gbr. Pembagian wilayah waktu
Penetapan standar waktu di Indonesia ini bukan yang pertama kalinya didunia, sebab pada 2 November 1868 negara Selandia Baru telah memulainya terlebih dahulu yang dikenal dengan New Zealand Mean Time.  Di Amerika Serikat dan Kanada, zona waktu standar diperkenalkan tanggal 18 November 1883, oleh perusahaan-perusahaan rel kereta api yang selanjutnya disempurnakan secara bersama pada 1918 dengan pengenalan konsep daylight saving time. Pembagian zona-zona waktu didunia (termasuk Indonesia) adalah untuk menyeragamkan pemahaman tentang jam dan tanggal diberbagai negara sekaitan dengan semakin meningkatnya peradaban dan teknologi serta tuntutan hidup umat manusia.
Dipilihnya waktu lokal di Royal Greenwich Observatory Greenwich, Inggris sebagai standar waktu Internasional karena sampai tahun 1884 dua pertiga dari semua peta dan bagan maritim menggunakannya sebagai meridian utama (prime meridian).  Memang pada awalnya penetapan tersebut lebih kepada tuntutan para pelaut dan penumpang kereta api untuk memecahkan kebingungan mereka terhadap perbedaan waktu yang mereka lintasi.
Standarisasi ini ditetapkan pada Konferensi Meridian Internasional tahun 1884, yang akhirnya menyeragamkan pemakaian Greenwich Mean Time untuk menyetel jam di dalam suatu daerah didunia. Royal Observatory Greenwich atau sebelumnya dikenal juga dengan nama Royal Greenwich Observatory sendiri diresmikan pada 1675 oleh Raja Charles II bersamaan dengan dibentuknya jabatan Astronomer Royal (saat itu dijabat oleh John Flamsteed) sebagai direktur observatorium.
Pada kedua kutub (utara dan selatan) pergantiang siang dan malam sangatlah lama, maksimal 6 bulan siang dan 6 bulan malam, bahkan terkadang waktu siangnya juga bisa lebih lama. Hal ini membuat tidak stabilnya waktu untuk melakukan sholat ataupun memperkirakan bulan baru bagi mereka yang tinggal atau melakukan perjalanan didaerah kutub.
Kita ambil contoh kota Oslo yang terletak pada 110 garis bujur dan 600 lintang utara dimana matahari tampak terbit dan terbenam pada jam yang selalu berbeda sepanjang tahun. Waktu untuk menunaikan ibadah subuh adalah sekitar pukul 01.20 malam sebab khususnya pada tanggal 20 Juni fajar telah terbit diufuk timur, sedangkan maghrib baru dilakukan pada jam 21.27 dikarenakan matahari baru tampak tenggelam dibaratnya.
Berbeda pada tanggal 20 Desember dimana fajar baru terbit sekitar pukul 07.45 (sholat subuhpun praktis baru dilakukan jam tersebut) dan maghrib sudah terjadi sekitar jam 14.55 mengingat matahari telah terbenam diufuk barat. Dengan demikian maka kita perlu untuk memahami ulang nash-nash keagamaan yang selama ini telah dibenamkan kepada kita mengenai acuan pembuatan penanggalan dan waktu.
Firman Allah :
Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilahnya.(QS Yaasin (36) :38-39)
Dia-lah yang menjadikan matahari terang dan bulan bercahaya dan Dia menentukan manzilahnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. (QS Yuunus (10) : 5)
Dari kedua ayat diatas maka secara jujur kita bisa menganalisa bila Allah sudah membuat garis orbit untuk proses peredaran matahari dan bulan yang bisa dijadikan acuan untuk perhitungan bulan dan waktu.
Sehingga sebenarnya tidak tepat apabila penentuan bulan dan waktu (termasuk kapan harus sholat, berpuasa dan berhari raya) hanya berdasar waktu terbit dan terbenam matahari dari daerah kediaman manusia secara lokal. Sudah sewajarnya kita menggunakan rotasi bumi serta orbit bulan dan matahari selaku acuan untuk mendapatkan waktu standar yang berlaku menyeluruh.
Sebelum ini kita sudah membahas mengenai pembagian wilayah dunia berdasar GMT dimana kota Greenwich di kepulauan Greenland, Inggris menjadi pusat bujur geografis nol derajat. Pernahkah kita sebagai umat Islam terpikir untuk menjadikan kota Mekkah di Arab Saudi sebagai pusat bujur geografis sebagai dasar penetapan waktu standar ?
Mungkin ide ini sudah terlambat mengingat seluruh dunia sudah menyepakati standar waktu GMT dan melakukan perhitungan waktu lokalnya berdasarkan kota Greenwich tersebut. Akan tetapi penulis akan tetap mencoba melempar usul ini meski tingkat probabilitasnya sangatlah rendah. Sebelumnya penulis akan memperlihatkan dulu dalilnya didalam al-Qur’an.
Firman Allah :
Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat  bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram (QS. Al-Ma’idah (5):97)
Dan ini adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan agar kamu memberi peringatn kepada Ummul Qura (ibu negeri) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. (QS. Al-An’am (6):92)
Demikianlah kami wahyukan kepadamu Al-Qur’an dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (ibu negeri) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya. (QS. Asy-Syuura (42) :7)
Jika kita memperhatikan posisi kota Mekkah pada peta dunia maka akan terlihat bila tempat tersebut menjadi titik pusat bagi daratan sekelilingnya. Secara geografis, kota Mekkah yang terletak di Saudi Arabia memiliki luas lebih kurang 870.000 mil meliputi empat perlima bagian semenanjung Arabia, diselah timur Laut Merah dan berbatasan dengan Yordan, Irak, Kuwait, Bahrain, Qatar, Emirat Arab, Oman dan Yaman.
Ket. gbr. Posisi Kota Mekkah diantara benua dan negara-negara dunia
Sumber : http://maps.google.com/
Firman Allah :
Inna awwala baytin wudhi’a li(l)nnaasi lalladzii bibakkata mubaarakan wahudan lil’aalamiin(a) – Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah di Bakkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (QS Ali Imran (3) :96)
Dalam surah Ali Imran ayat 96 diatas, kota Mekkah dinyatakan sebagai kota dimana rumah tertua (bangunan pertama) didirikan. Selain itu, istilah Ka’bahpun seperti yang disampaikan oleh Nazwar Syamsu dalam bukunya “Makkah dan Ibadah Haji” berartikan “kutub putaran bumi” sebagaimana kata Ka’bu atau Ka’bayni yang memiliki pengertian “mata kaki” manusia dengan mana kita dapat berjalan dengan normal (Baca: Nazwar Syamsu, Tauhid & Logika: Makkah dan Ibadah Haji, Penerbit Ghalia Indonesia, 1983, hal. 48.)
Pemahaman demikian berangkat dari teori Nazwar Syamsu yang menyebutkan bahwa pada masa awal penciptaan dunia dimasa lalu, kota Mekkah merupakan kutub utara bumi yang posisinya berubah drastis setelah terjadinya banjir Nabi Nuh. Perubahan posisi ini sendiri dikaitkan beliau dengan perpindahan kutub-kutub bumi yang disebabkan oleh perubahan arah putaran disumbunya sehingga mengakibatkan kota Mekkah menjadi kota yang panas dan tandus.
Padahal dimasa lalu menurut Nazwar Syamsu, kota Mekkah adalah kota yang subur dan teduh penuh mata air sebagaimana kota tersebut menjadi tempat dimana Adam pernah hidup. Pernyataan Nazwar Syamsu ini mengingatkan kita pada salah satu hadis Rasulullah Saw : “
Tidaklah akan datang hari kiamat sehingga tanah Arab kembali menjadi tanah yang berumput dan banyak air.” (HR. Muslim).
Dari sabda Nabi ini, kita bisa mempelajari bahwa jauh sebelum datangnya ketandusan melanda tanah Arabia, tempat tersebut pernah menjadi satu kawasan yang sangat subur (lihat bahwa hadis ini menggunakan istilah “Kembali menjadi tanah yang berumput”).
Kenyataan yang tidak bisa dibantah apabila sebelumnya Saudi Arabia adalah daerah yang paling panas dimuka bumi sehingga pernah tercatat mencapai temperatur 50 derajat selsius dan pada musim dingin mencapai 0 derajat selsius dengan kesejukan yang membekukan tetapi kering tanpa air. Seiring gerak pembangunan yang ada, maka saat ini Arabia sudah jauh lebih baik. Daerah luas yang terdiri dari padang pasir dan gunung-gunung batu ini sekarang dibanyak tempatnya telah dihijaukan untuk pertanian melalui irigasi dari sumber-sumber air sejauh ribuan kilometer.
Didaerah al-Ahsah dan Qatif telah dibuat waduk besar dengan saluran-saluran irigasinya, dan terkenal juga waduk Jizan Wadi yang berupa danau buatan berkapasitas 51.000.000 meterkubik air yang disalurkan kedaerah sekitarnya dalam setahun. Berbagai usaha dan cara telah diupayakan pihak pemerintah Saudi Arabia untuk menghijaukan dan menyuburkan kehidupan dibeberapa tempat yang dahulunya padang tandus, ditambah dengan pembangunan jalan-jalan raya lebar dan modern yang menghubungkan beberapa tempat, juga dibarengi dengan pembangunan kota-kota baru sebagai ganti dan perluasan kota-kota yang lama, begitupun pelabuhan-pelabuhan dan lapangan-lapangan terbang yang berkapasitas Internasional.
Kembali pada teori Nazwar Syamsu tentang posisi Mekkah yang dahulunya dikatakannya sebagai kutub utara bumi tetap saja menjadi teori yang menarik untuk kita pelajari. Sebenarnya perubahan posisi bumi sudah terjadi sejak lama. Barangkali tidak seorang pun pernah membayangkan, bumi mulai miring sekitar 530 juta tahun lalu.
Bahkan pada 15 juta tahun berikutnya, poros bumi bergeser lebih dari 90o. Akibat dari pergeseran ini, kawasan kutub pernah pindah ke khatulistiwa. Hugh Auchincloss Brown, penulis Cataclysms of the Earth (1967) berpendapat bila fenomena ini terjadi kemungkinan karena adanya perubahan geologi global di masa lampau.
Albert Einstein juga sempat menulis prakata untuk buku “Earth’s Shifting Crust”, karya Prof. Charles H. Hapgood, tentang perubahan kutub yang terjadi 6000 tahun silam. Di dalamnya dipaparkan data empiris tiap titik permukaan bumi akibat perubahan mendadak iklim bumi. Menurut Prof. Charles H. Hapgood, “Kerak bumi yang relatif tipis (+ 32 – 64 km) tersusun atas materi yang keras, tapi tidak cukup kuat karena retak di banyak tempat.
Tepat di bawahnya ada lapisan yang sangat panas sehingga batuan di sana tidak sempat mengkristal. Kondisi yang lembek dan plastis itu, yang berfungsi mirip pelumas, menyebabkan kerak bumi mudah bergerak akibat tekanan meski ringan sekalipun, apalagi oleh tekanan mendadak, seperti gempa bumi atau desakan horisontal yang lama.” Selama perubahan kutub, miliaran ton air dan es dari kutub Selatan akan bergerak cepat ke utara menuju ekuator. Di kutub Utara pun demikian hanya arahnya berlawanan, berpacu ke selatan ke ekuator.
Massa es itu meluncur dengan kecepatan + 2.500 km/jam, dengan kata lain massa es di Antartika akan mencapai wilayah subtropika hanya dalam 3-4 jam! Sebagai akibatnya, muncullah gelombang setinggi ribuan meter menyapu daratan, banyak gunung berapi meletus dan badai raksasa serta gempa terjadi diberbagai tempat.
Permukaan laut akan naik cepat, garis pantai tiap benua pun berubah. Ketinggian air menyapu kota-kota dan dataran berpantai. Hasilnya adalah terjadinya perubahan garis lintang dunia. Jarak tiap tempat terhadap ekuator berubah. Meski tidak semua tempat berpindah sejauh jarak yang sama, maka ada yang makin dekat, tapi ada yang makin jauh. Seiring dengan perpindahan itu, muncul perubahan iklim, mulai dari yang drastis, sedang, hingga yang tetap. Peristiwa hebat yang mendadak itulah yang diduga melenyapkan peradaban kuno, termasuk mammot di zaman prasejarah.
Yves Naud berdasarkan penelitiannya yang panjang menulis dalam bukunya berjudul “Peninggalan Masa Lampau yang misterius dan UFO”, bahwa teknologi yang pernah dicapai oleh nenek moyang manusia jaman dahulu melebihi apa yang sudah dicapai oleh manusia modern sekarang ini. Hal ini dibuktikannya dengan keberadaan Peta Piri Reis yang merupakan suatu peta dengan rancangan ilmu geografis sangat akurat Konon pada awal abad ke delapan belas, di istana Topkapi Turki, ditemukan peta-peta kuno.
Peta itu adalah milik seorang perwira tinggi Angkatan Laut Turki Laksamana Piri Reis. Dua buah atlas yang disimpan di perpustakaan negara di Berlin yang memuat gambar yang tepat dari laut Tengah dan daerah sekitar laut Mati, juga berasal dari Laksamana Piri Reis ini. Semua peta ini telah diserahkan kepada Arlington H. Mallerey seorang Kartograf Amerika untuk diteliti. Mallerey memperkuat fakta yang luar biasa bahwa semua data geografi terdapat pada peta-peta itu, tetapi tidak digambar pada tempat yang semestinya.
Ia minta bantuan dari Walters seorang kartograf dari Biro Hidrografi Angkatan Laut Amerika Serikat. Mallerey dan Walters bersama-sama menyusun suatu skala dan mentransformasikan peta itu menjadi bola dunia. Mereka membuat penemuan yang menggemparkan. Petanya memang cermat, bukan hanya mengenai Laut Tengah dan Laut Mati saja melainkan pantai-pantai Amerika Utara dan Selatan bahkan garis-garis tinggi Permukaan Samudra Antartika pun dilukiskan dengan persis sekali pada peta Piri Reis itu.
Peta itu bukan hanya memproduksikan garis besarnya benua-benua melainkan juga topografi dari daerah-daerah pedalaman. Pegunungan, puncak gunung, pulau, sungai dan dataran tinggi; semuanya digambarkan dengan ketepatan yang luar biasa. Untuk lebih jauh membaca tentang peta piri rais ini, silahkan anda membacanya disini : http://www.diegocuoghi.it/Piri_Reis/PiriReis_eng.htm
Dalam tahun 1957, peta-peta itu diserahkan kepada Jesnit Lineham, yang menjabat direktur dari Weston Observatory merangkap juru potret pada Angkatan Laut Amerika Serikat. Setelah memeriksanya dengan cermat, Lineham pun hanya dapat memperkuat ketepatannya yang fantastis itu bahkan sampai mengenai daerah daerah yang di masa sekarang jarang sekali dipelajari.
Yang paling menonjol ialah bahwa pegunungan di Antartika yang baru ditemukan pada tahun 1952, dalam peta Reis telah terdapat. Pegunungan itu telah tertutup oleh es beratus-ratus tahun lamanya. Peta kita sekarang dibuat berdasarkan hasil pemetaan dengan menggunakan alat-alat gema suara. Penyelidikan terakhir yang dilakukan oleh Profesor Charles. H. Hapgood dan ahli matematika Richard W. Strachan telah memberikan informasi yang lebih mengherankan lagi.
Setelah diadakan perbandingan dengan hasil pemotretan bulatan dunia kita yang di lakukan secara modern dari satelit, perbandingan itu menunjukkan bahwa peta aslinya dari Piri Reis itu pasti telah dibuat berdasarkan hasil pemotretan dari udara dengan ketinggian yang jauh sekali. Bagaimana kita bisa menjelaskan hal demikian secara rasional dimana nenek moyang kita yang konon adalah manusia-manusia batu serta hidup secara nomaden telah mampu membuat peta seakurat ini ? Ternyata Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya tatkala Dia mengatakan dalam wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad :
Dan orang-orang yang hidup sebelum mereka ini telah pernah mendustakan Kami, padahal mereka yang sekarang ini belum sampai sepersepuluh dari yang pernah Kami berikan kepada (nenek moyang) mereka pada masa lalu. (QS Saba’ (34) : 45)
Dikaitkannya antara rumah pertama (awwala baytin wudhi’a linnaasi) yang disebut dengan istilah Ka’bah dengan posisi kota Mekkah sebagai Ummul Qura (mother of cities, ibu semua kota) serta kewajiban kita berkiblat kepadanya didalam al-Qur’an pasti mengandung pengetahuan lain yang dituntut oleh Allah kepada manusia dalam penyingkapannya.
Dimanapun kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Sesungguhnya ketentuan itu adalah sesuatu yang benar dari Tuhanmu. (QS Al-Baqarah (2) :149)
Pengertian umum dari istilah “al-Ka’bayni” selaku dua mata kaki (lihat surah al-Maidah ayat 6) merupakan analogi keseimbangan dasar dari suatu bangunan tubuh manusia sehingga dia bisa berjalan dengan benar. Begitupula kiranya maksud dari istilah “al-Ka’bati” pada surah al-Maidah ayat 95 atau istilah “al-Ka’bata” pada surah yang sama ayat 97 yang menyebutnya selaku pusat kegiatan manusia. Tentunya mengandung maksud akan terwujudnya sentralisasi aktivitas dengan berkiblat kepadanya termasuk dalam hal pengaturan waktu serta penanggalan.
Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. (QS. AL-Baqarah (2) :144)
Kami menjadikan rumah itu tempat berkumpul bagi manusia. (QS. AL-Baqarah (2) :125)
Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya dimana ia menghadap kepadanya.
(QS AL-Baqarah (2) :148)
Akan halnya kita sekarang hanya menjadikan Ka’bah serta kota Mekkah sebagai tempat berkiblat didalam sholat dan menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang tidak perlu disalahkan. Tetapi mungkin sudah waktunya untuk mempertimbangkan pula lokasi tersebut sebagai pusat pengkiblatan seluruh aktivitas dan peraturan yang berkaitan dengan setiap langkah kegiatan umat Islam dunia.
Karena hanya dengan menjadikan kota Mekkah, khususnya Ka’bah selaku masjidil haram yang menjadi pusat pengaturan sistem aktivitas maka keridhoan seluruh umat Islam terhadap persatuan harusnya dapat terwujud. Kita tidak perlu lagi menjadikan kota Greenwich di kepulauan Greenland, Inggris menjadi pusat bujur geografis nol derajat yang olehnya kita menstandarisasi waktu.
Kita juga tidak perlu lagi meributkan kapan harus berpuasa, berlebaran atau berhaji hanya karena perbedaan dalam penglihatan hilal disetiap negara. Di Mekkah kita sudah harus menerapkan sistem fukyat bil ‘ilmi secara totalitas yang dapat menjadi acuan kalendarisasi hijriyah umat Islam seluruh dunia. Sehingga bila secara astronomi modern hilal sudah masuk atau terwujud dikota Mekkah maka artinya ditempat lain diseluruh duniapun harusnya memulai penanggalan baru pada saat yang sama.
Akan tetapi sayangnya karena sampai saat tulisan ini dibuat masih belum adanya standarisasi yang dicapai oleh umat Islam mengenai hal tersebut, bahkan dikala orang-orang barat sudah menjejakkan kakinya kebulan kita masih sebatas meributkan penghitungan peredaran bulan, kiranya tidak juga bisa ditolak untuk mempergunakan standarisasi yang berlaku secara Internasional untuk menentukan kalendarisasi hijriyah secara astronomi modern sebagaimana telah dilakukan oleh Badan Ruang angkasa Amerika (NASA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar