Bab II
Pembahasan
2.1 Hakikat
Eksistensialisme
Kata
Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto =
berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu
sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh
akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai
miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan -
merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat
lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas
tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar,
tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan
karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi
(berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan
pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
2.2
Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat
selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis,
orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia
dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke
krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai
krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya
atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
- Materialisme
Menurut
pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada
prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu
yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya
memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama
saja dengan sapi.
- Idealisme
Aliran
ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi
seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang
lain selain pikiran.
- Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya
eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat
yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama
yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian
merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang
mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak
mampu memberikan makna pada kehidupan.
2.3 Ciri
Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme
merupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan
metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat barat. Istilah eksistensialisme
tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat
perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat
tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya.
Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :
- Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
- Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
- Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
- Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
- Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
- Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
2.4
Tokoh-tokoh Eksistensialisme
- Soren Aabye Kiekegaard
Søren
Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855
pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang
yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap
sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak
dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya
hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan
individu ketika dihadapkan dengan
pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang
digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi
eksistensial.
Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya
yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit
untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan
apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard
"sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide
pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1)
Tentang
Manusia.
Kierkegaard
menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi"
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman,
pilihan, keputus asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah
tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan
dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan
Buber.
Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara
umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar
kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi
agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya,
pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan
menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna
kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat
gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang
akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi
seorang kristiani.
Kierkegaard
bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena
Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai
sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard
sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama
yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama
Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)
Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard
mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi
manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah,
bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi
kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini
semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru
terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia.
Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi
hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak
berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard
membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
·
Eksistensi
estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal
ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
·
Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada
hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai
dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual
(estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·
Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
3)
Teodise
Menurut
Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat
jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas
segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya.
Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam
kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang
itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan
tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana
manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya
ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah
menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya
orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard
iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau
memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa
benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.
Inti
pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju
suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi
ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia
cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
- Friedrich Nietzsche
Menurutnya
manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia
super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan
kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
- Karl Jaspers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi
semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada
dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
- Martin Heidegger
Martin
Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei
1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di
Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan
kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting Heidegger adalah
Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Inti
pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
- Jean Paul Sartre
Jean-Paul
Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris,
15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis.
Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan,
eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Manusia
tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada
tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia
meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris).
Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah
seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan
karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan
Ketiadaan.
Ide-ide
pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Bagi
Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti
dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup
dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat
membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee
(1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan
keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak.
Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul
beban tanggung jawab.
Sartre
mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus
membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka
dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang
memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia
itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan
sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan
dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri
dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi
Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan
kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap
tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2) Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan
L'etre-en-Soi
Pemikiran
Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant
(Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau
:'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam
dirinya sendiri).
a) L'etre-en-Soi (being in itself/ada
dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi
sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga
paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu
hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai
masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan.
L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa
dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada
dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi
di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa
menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang.
Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh
mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b) L'etre-pour-Soi
Konsep
ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi.
Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta
bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada,
tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam
kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada
subyek dan ada obyek.
3) Mauvaise Foi
Konsep
ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui
dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga
mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima
atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4) Kebebasan
Dalam
pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan
manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu
eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat
diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran
eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya
dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak
dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab
saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi
kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat
kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain,
tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre
mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya
filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan
konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark
telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre,
Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya
tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap
pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita
masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi
soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat
mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia
masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
Inti
pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep
manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar
dan bebas bagi diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar