Senin, 07 Desember 2015

Kearifan Lokal "Suku Baduy, Bersinergi Dengan Alam Menjaga Aturan Adat"

Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Suku Baduy terbagi dalam dua golongan yang disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.



Perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar yang menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.


Sebutan Baduy merupakan pemberian dari peneliti Belanda yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.

Mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa kopi, padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.

Namun dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam.

Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.

Rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.

Terdapat 3 ruangan dalam rumah adat Baduy dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.

Layaknya suku kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

Tradisi menenun ini menghasilkan kain tenun yang digunakan dalam pakaian adat Suku Baduy. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Selain digunakan dalam keseharian, kain ini juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.

Suku Baduy percaya, mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, warga Kanekes mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini disebut juga dengan Sunda Wiwitan. Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar