BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”;
dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos”
artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa
pengertian secara istilah, yaitu:
- Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a.
Nilai sepenuhnya berhakikat
subyektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori
idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam
etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang nilai
sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek
yang dinilainya.
b.
Nilai-nilai merupakan kenyataan,
namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi
logis dan dapat diketahui melalui akal.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial,
dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi,
cabang filsafat yang mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad
ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti epistimologis, etika, dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang
memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan
kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang
demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan
sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan tentang
nilai yaitu sebagai berikut:
1. Nilai dalam
bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya,
berlaku, kuat).
2.
Nilai ditinjau dari segi Harkat
adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,diinginkan,
berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
3.
Nilai ditinjau dari segi
Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai
sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau
“nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan
menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
4.
Nilai ditinjau dari seudut Ilmu
Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material,
pertama kali mengunakan secara umum kata “nilai”.
Kattsoff dalam Soejono
Soemargono (2004:318), mengatakan bahwa nilai itu sangat erat
kaitannya dengan kebaikan atau dengan kata baik, walaupun fakta baiknya, bisa
berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara historis,
istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals).
Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai
dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of
value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang
baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is
good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk
berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam
“seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam
rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
B.
Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus
lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus
mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud
apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai harus
merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat
telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan
antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an
berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai
adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya
kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber
nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai
melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki
nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik
obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan
Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang
ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang
menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada
umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak
bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang
dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi
di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering
diucapkan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum).
Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu
ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi
aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri
dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai
sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan
dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan
tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus
and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya
(III, prop.IX).
2. Nilai
itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan
pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya,
atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah
hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek,
ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek
tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan
organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan
tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya
diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke
dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak
tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subyektif”
jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi
subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme
atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur
atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau
ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza).
Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai
itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu
istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau
suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai
entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif,
dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan
rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung
obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas,
Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan
lain-lain.
b) Subyektivisme
Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi
penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen
yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan
nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas
hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori
etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai
kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi
ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman
manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme
aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume,
Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila
nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku
serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa
memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa
semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme
Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi
bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas
dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya
Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme
Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini
mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk
yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil.
Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi
kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu
obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan
makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal
dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan
dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali
tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai
hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson,
Schlick, Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf
hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai,
sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan
kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max
Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan
kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari
dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan
manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme
nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai,
yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung pada sifat
hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama
sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi.
Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya
terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai
yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua
ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena
persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
C.
Karakteristik dan Tingkatan Nilai
Ada
beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1.
Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2.
Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku
sekarang sudah berlaku sejak masa lampau, serta akan berlaku bagi siapapun
tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain, ada yang beranggapan
bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki
nilai :
1.
Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai
spiritual lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (niai material).
2.
Kaum Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab
membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam, dan aturan
berfikir logis.
3.
Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya,
apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental.
Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.
D. Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
a. Etika dan Pendidikan
·
Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan.
Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan
dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika
merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu
kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Jadi, etika merupakan cabang
filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik
dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
·
Filsafat Pendidikan Islam dan
Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah
moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan
keberanian moral. Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya
kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan
pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni
dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan
Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif.
Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam
penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual
religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab
itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral-pendidikan Islam harus berbentuk
proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke
arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan
peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang
sosio budaya masing-masing.
b.
Estetika dan Pendidikan
·
Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
·
Filsafat Pendidikan Islam dan
Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan
antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik
beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam
dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan
ada tiga interpretasi tentang hakikat seni:
1.
Seni sebagai penembusan terhadap realitas,
selain pengalaman.
2.
Seni sebagai alat kesenangan.
3.
Seni sebagai ekspresi yang
sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan
penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan
pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat
dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik
itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti
pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang
kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
E. Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan
makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat
kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan
berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta,
memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung
proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Mengenai
makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa macam makna.
Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan yang bisa
penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus
mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah),
mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai
tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang
diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat
nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala
yang bernilai secara filosofis, mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada
hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Disamping itu, aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik
nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Tujuan nilai adalah
untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai maka
tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus
Lorens. 2005. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
O. Kattsoff, Louis. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gazalba, Sidi. (2002). Sistematika Filsafat, Buku keempat, Pengantar Kepada Teori Nilai.
Jakarta : Bulan Bintang.
“Filsafat Nilai”. Melalui
<https://sites.google.com/site/rosadteaconr/artikel/filsafat-nilai-aksiologi>
[28/09/15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar