Sementara kaum abangan (kaum kebatinan
Jawa) cenderung mendukung dan membela keyakinan Syekh Siti Jenar.
Kadangkala keberpihakan mereka dimasukkan secara samar-samar di dalam
babad atau serat yang mereka tulis. Namun tak jarang, kaum abangan
melakukan perdebatan secara terbuka sehingga dewan ulama yang tergabung
dalam Wali Songo seringkali dipojokkan dan dianggap sebagai kambing
hitam dalam perkara kematian Syekh Siti Jenar.
Sumber tertulis mengenai kisah Syekh Siti Jenar bisa kita baca dalam
salah satu Serat Syekh Siti Jenar yang diterjemahkan dari karya Raden
Sosrowidjojo, yang diterbitkan oleh keluarga Bratakesawa di Yogyakarta
pada tahun 1958. Naskah tersebut berbentuk bait-bait yang diberi nomor
berupa karya sastra tembang pupuh, sinom, asmaradana, dandang gula, dan
pangkur. Ajaran Syekh Siti Jenar menggabungkan Islam, Hindu dan Budha
dalam kehidupan.
Kisah Syekh Siti Jenar dimulai ketika Ki Ageng Kebokenongo dari
Pengging akan membangkang dari Kesultanan Bintara Demak. Ki Ageng
Kebokenongo mengajak Syekh Siti Jenar dalam pembangkangan tersebut.
Keduanya adalah orang yang memiliki keyakinan ajaran Manunggaling Kawulo
Gusti atau Tuhan Adalah Saya. Mereka memiliki ratusan murid dan
pengikut yang mendukung ajaran Islam yang melenceng tersebut.Penyelesaian masalah ajaran sesat Syekh Siti Jenar dilakukan oleh anggota Wali Songo dengan jalan damai. Namun cara tersebut belum mampu menyadarkan Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Kebokenongo hingga akhir hayat Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dianggap sebagai seorang wali yang menyelewengkan ajaran agama Islam. Kisah Syekh Siti Jenar hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda saat ini untuk menjalankan agama mereka sesuai tuntunan kitab suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar