Senin, 26 Oktober 2015

Eksistensialisme Menurut Pandangan Martin Heidegger


Biografi Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg di mana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lebre von Urteil in Psicologismus (Ajaran tentang putusan dalam Psikologi). Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortinus. Sebelumnya ia kuliah di Fakultas Teologi sampai empat semester, lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, pengaruh filsafat Neo- Kantianisme juga banyak memberi pengaruh padanya.[1]
Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freidburg untuk belajar di fakultas teologi.  Setelah mempelajari. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah- kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termashur di fakultas filsafat pada waktu itu adalah Heinrich Rickrt, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut aliran neokantianisme. Heidegger memperoleh gelar “doktor filsafat”, pada tahun 1913 dengan disertasi tentang Die Lehre vom Urteil im Psichologismus (Ajaran tentang putusan dalam psikologisme). Dua tahun kemudian ia mempertahankan Habilitationsschrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (ajaran Duns Scotus tentang kategori- kategori dan makna). Tahun 1915 Martin Heidegger mulai mengajar di Universitas Freiburg. Ketika Heidegger di bangku kuliah ia sudah mendalami fenomenologi Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freidberg, kehadiran itu membawa pengaruh besar pada diri Heidegger. Di Universitas ini Husserl mengagumi kepintaran Heidegger dan dipercayakan sebagai asistensinya. Pada tahun 1923, ia diundang ke Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor.[2]
Di sini ia bertemu dengan  Rudolf Bultman, seorang teoog terkemuka protestan. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi professor di Freiburg sebagai pengganti Husserl. Ketika Hittler berkuasa di Jerman, Heidegger dipilih menjabat sebagai rector. Sikapnya ini mengundang kritikan banyak orang. Orang menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu aktivitas Nazi. Heidegger belakangan sangat menyesal dengan sikapnya itu dan ia mengundurkan diri dan hidup menyepi di desa terpencil sampai akhir hayatnya. Heidegger dikenal sebagai tokoh sentral pemikiran eksistensialisme. Pemikiran eksistensialismenya dipengaruhi Kierkegaard, tokoh pendiri gerakan eksistensialisme. Dalam perkembangan karier dan pemikirannya nama Heidegger menempati deretan teratas dan namanya menjadi sangat terkenal melalui karyanya yang monumental, Sein und zeit.
Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan, Rudolf Bultmann, kemudian kembali lagi ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia sempat menyelesaikan karya monumentalnya Sein und Zeit (Being and Time). Karena Husserl orang Yahudi, maka sewaktu ada gerakan Nazi, ia berpisah dengannya. Pada 1933, ia menjadi rector pertama Universitas Freiburg yang diangkat oleh gerakan National Socialist (Nazi) dengan pidato pengukuhannya berjudul “Role of the university in the New Reich” yang menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang Jaya. Begitu menyadari kalau dirinya dieksploitasi, maka setahun kemudian, ia meletakan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiunan pada tahun 1957.
Karya- karya Martin Heidegger antara lain:
  1. Sein und Zeit (Ada dan Waktu), 1927
  2. Kant und das Problem der Metaphysic (Kant dan Metafisika), 1929
  3. Wast ist Metaphysic (Apakah Metafisika?), 1929
  4. Holzwege ( Jalan- jalan buntu), 1950
  5. Vortrage und Aufsatze, 1957
  6. Identitat und Differenz, 1969
  7. Zur Sache des Denkes, 1969
  8. Einfuhrung in die Metaphysic, 1953
  9. Was heist Denken, 1954
  10. Nietzhe, 1961
  11. Phanomenologie und theologie, 1970[3]
Selain Sein and Zeit Einfuhrung in die Metaphysic, masih banyak lagi karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas masalah seperti “What is Being?”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga judul – judul mengenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.
 Ada dua hal mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu dehumanisasi atau depersonalisasi dimana pasca renaissance dan enlightenment atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat- alat industry, alat mekanik, zaman mesin (age of automation mechanism) sehingga betul- betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Yang kedua adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik pada golongan materialisme ataupun idealisme yang mengakui sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.[4]

Pemikiran
Heidegger mengangkat metode fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman lansung. Dengan membuang semua konstruksi epistemologis dan logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar akan menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang menempatkan seorang sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek dengan dunia obyek maka akan gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Supaya terhindar dari kegagalan seperti di atas maka Heidegger beratok pada persoalan eksistensi manusia. Segala yang ada di luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda- benda yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang dan dikonseptualkan sebagai berbeda- beda secara structural ke dalam wilayah- wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Eksistensi adalah keadaan actual yang terjadi dalam ruang dan waktu. Eksistensi menunjukan kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Sementara esensi adlaah kebalikannya, yaitu sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak- corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya.
Oleh karena itu untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan memahami kata- kata kunci, yakni:
  • Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
  • Seinde, yaitu beradanya benda- benda (things) yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang (vorhanden).
  • Facticity, yaitu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar, dll.
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk menjelaskan ada itu adalah sein und zeit (being and time). Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger tidak bisa terlepas dengan waktu. Karena Dasein itu tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi. Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya belaku bagi being lain dan bukan pada dasein. Dasein mentransendensi  being lain, sebab pada dasein aktus pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu. Dengan demikian dimensi waktu paling penting bagi Heidegger adalah masa mendatang (future, zukunft). Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap- tahap yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu, sekaran dan yang akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Heidegger mengatakan dunia luar yang terdiri obyek- obyek hanya digunakan pada setiap tidakan dan tujuan kegiatan manusia. Tetapi meski demikian, tindakan pengetahuan manusia itu tidak terpisah dengan benda- benda di sekitarnya. Heidegger juga membicarakan konsep waktu. Gagasan tentang waktu dikaitkan dengan subyektif manusia. Waktu adalah tahap- tahap eksistensi yang tidak dapat dipisahkan baik masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Dimensi waktu itu sama realnya. Dalam rentangan waktu seorang individu itu senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan. Potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Disinilah manusia mempunyai pilihan- pilihan. Di sini pula manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan artinya ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum direalisir itu muncullah perasaan cemas pada manusia. Inilah realitas manusia, ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan. Hal ini pula ia merenung dirinya secara mendalam. Dari intisari pemikiran di atas, lalu Heidegger kembali ke pertanyaan awal, siapakah manusia itu sebenarnya? Apakah ADA yang konkrit itu? Apakah ADA yang tertinggi itu? Apakah arti aku ada?
Semua pertanyaan ini direnungkan manusia dalam mencapai eksistensi dirinya. Kecemasan, pengalaman akan ketiadaan adalah nasib manusia. Heidegger memandang manusia sebagai makhluk yang terlempar di dunia. Manusia seolah hidup di sebuah tempat yang diapit jurang yang sangat dalam. Dia berada diantara ADA dan KETIADAAN. Ia ada karena hidup di dunia dan tiada karena berakhir dengan kematian. Kegelisahan manusia akan pengalaman ketiadaan justru menyadarkan manusia itu sendiri. Ia pada akhirnya harus berjumpa dengan soal- soal seperti temporalitas, ketiadaan, akan pengalaman keterbatasan dan kematian.
Skema pemikiran Heidegger terdapat dalam dua periode, yang dikenal sebagai Heidegger I dan Heidegger II. Pemikiran Heidegger periode pertama termuat dalam Ada dan Waktu. Heidegger membantah anggapan bahwa pemikirannya yang termuat dalam Ada dan Waktu bercirikan eksistensialis.
Manusia dapat mengajukan pertanyaan karena ia mempunyai pengertian akan ‘ada’ itu sendiri. Subyek manusia adalah kesadaran akan dirinya. Kata kesadaran ini menjadi istilah kunci dalam filsafat Heidegger. Ia uga memberikan istilah dasein bagi manusia. Artinya manusia adalah ‘ada disana.. manusia tidak ada begitu saja tetapi berkaitan dengan adanya sendiri. Berbeda dengan benda lain, manusia itu sadar akan adanya. Dalam filsafat eksistensialis, Heidegger menjelaskan bahwa Dasein dicirikaan sebagai eksistensi dan berada dalam dunia. Struktur- struktur dasarlah atau ciri- ciri hakiki dasein disebutnya eksistensialis. Dalam persoalan ini Heidegger memberikan uraian- uraian panjang tentang kematian. Dan dia menjelaskan bahwa dasein merupakan ada yang menuju kematian. Di sini ditekankan bahwa temporalitas dari dasein itu adalah orientasi pada masa yang lampau, sekarang serta waktu yang akan datang, yang semuanya dikaitkan dengan konsep masa yang akan datang.


Realitas atau Kebenaran
Heidegger berpendapat bahwa pertanyaan mengenai hakikat ada itu hanya bisa dijawab secara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologi Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman langsung. Dengan membuang semua konstruksi epistemologis dan logis dengan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar, maka akan ditemukan fakta yang sesungguhnya. Heidegger memakai metode fenomenologi Husserl dalam rangka menjawab tiga problem utamanya, yaitu siapakah manusia itu? Apakah ada being yang kongkret? Dan apakah wujud realitas tertinggi itu? Karena metode inilah yang menurutnya paling baik. Perbedaannya, kalau Husserl mengarahkan metode ini pada “kesadaran” manusia, sementara Heidegger kepada “kemanusiaaannya”. Dari sinilah terungkap artian pandangan yang abstrak dari Husserl dan yang konkret bagi Heidegger.[5]
Ada dua alasan pokok mengapa Heidegger menjadikan dasar filsafatnya pada “ada”: pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari nuasnsa religious dan kesadarannya akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang Ada saja, eksistensi hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari ketidakmampan manusia memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap kehadiran- Nya yang juga disebabkan bahsa ucap mengenai “ada” tidak didengarkan, tidak diperbarui, dan tidak dikembangkan lagi, sehingga filosofi harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahaasakan kembali dan diberi arti baru. Dalam usahanya untuk menemukan kembali dan memberi makna baru yang sejati akan yang “ada” (sein, being), maka langkah awal yang dilakukannya adalah dengan menyimpan terlebih dulu pengertian “ada” dari Plato sampai Hegel, kemudian membuat sistematisasi filsafat baru dengan istilah, kata, dan bahasa yang baru agar “berbeda” dengan mereka. Oleh sebab itu, untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat yaitu dengan memahami kata kuncinya terlebih dahulu:
  • Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
  • Seinede yaitu beradanya benda- benda yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang
  • Facticity yaitu suatu fakta bahwa eksistensi manusia di dunia empiris ini adalah being yang terlempar.
  • Existentiality yaitu suatu fakta bahwa dasein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
  • Forfeiture yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
  • Geworfen- sein yaitu situasi keberadaan manusia konkret di dunia ini yang tahu- tahu sudah terlempar dan ada di bumi ini. Ia tidak memilih, tetapi sudah dilahirkan dan ada di jagad ini. \
  • Some yaitu kecemasan mendalam, cemas akan macam- macam hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia.
  • Zuhandenes yaitu lingkup dunia sarana- sarana alat- alat.
  • Vorhandenes yaitu lingkup dunia benda- benda.
  • Angst, yaitu ketakutan eksistensial, sebauah rasa takut yang bercampur cemas, gelisah, dan bertanya- Tanya yang muncl dan berkembang dari kesadaran manusia bahwa kelak (tanpa diketahui kapan) ia akan mati.
  • Sein zum Tode yaitu langkah demi langkah menuju kematian.
  • Entschlossenheit, yaitu ketegaran dalam menghadapi kematian.
  • Entwurf yaitu yaitu persiapan atau rancangan- rancangan budaya yang diuat begitu menyadari akan eksistensinya guna sungguh- sungguh mengalami dirinya itu eksis.[6]
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk menjelaskan “ada” itu adalah being and time. Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger, tidak bisa terlepas dengan “waktu”. Karena dasein tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi. Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya berlaku bagi beings lain dan bukan pada dasein. Dasein mentrandensi beings lain, sebab pada dasein pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu. Dengan demikian, dimensi waktu yang paling penting bagi Heidegger adalah masa mendatang.
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap- tahap yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Bagi Heidegger, waktu itu sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemugkinan dan potenisalitas ini menjadi alternatif bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, garuh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya dengan tindakan dan perbuatannya. Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal- hal sekitarnya. Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah.


Aliran
Aliran Martin Heidegger adalah eksistensialisme. Istilah eksistensi dan eksistensial merupakan pengembangan istilah eksistensi. Dalam bahasa kita, kedua istilah ini sama saja. Tetapi dalam bahasa inggris, dua istilah ini dibedakan dengan existential dan existensiell. Kedua istilah ini berasal dari filsafat eksistensialisme Jerman. Kata eksistensial menunjuk pada pengalaman akan realitas dan berbagai dimensi kehidupan. Kemudian menunjuk bahwa kesadaran seseorang yang dalam bertindak dan memilih dapat menciptakan dan mengekspresikan identitas dirinya sendiri dalam proses bertindak dan memilih yang bertanggung jawab. Pengalaman terlibat kuat dalam hidup, baik dalam pemenuhannya maupun dalam kesulitannya.  Kata eksistensial dapat dipakai sebagai kata benda dan kata sifat, yang menjelaskan apa yang menentukan pengertian manusia terhadap dirinya sendiri yang independen terhadap pilihan bebasnya sendiri. Dengan demikian eksistensi seseorang itu adalah sebagaimana adanya dalam dunia. Saya hidup disini, di abad ini dan berbicara bahasa Indonesia dan juga saya akan mati. Semua hal ini sudah ada sebelum terwujudnya kebebasan manusia. Manusia harus berhadapan dengan semua ini dan menyesuaikan diri dengan hal- hal ini.
Eksistensialisme adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern. Istilah eksistensialisme bukan memberikan suatu sistem filsafat secara khusus karena ada sejumlah perbedaan – perbedaan yang besar antara semacam- macam filsafat yang dikelompokan sebagai filsafat eksistensialisme. Tetapi arus dasar gerakan ini sama yakni sikap berontak dan protes terhadap beberapa sifat filsafat tradisional dan perilaku masyarakat modern. Gerakan eksistensialisme ingin mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara berada manusia itu berbeda dengan cara berada dari benda- benda. Kaum eksistensialisme yang terkenal adalah Martin Heidegger.[7]

Pemikiran Martin Heidegger dipengaruhi oleh
Pemikiran Martin Heidegger dipengaruhi oleh Husserl, sebelum melangkah ke filsafat eksistensialisme, Heidegger dekat dengan gerakan fenomenologi. Bahkan dalam menguraikan pemikiran eksistensialis, Heidegger mengangkat metode fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman langsung. Dengan membuang semua kontruksi epistemologis dan logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar akan menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang menempatkan seorang sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek dengan dunia obyek maka akan gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Pemikiran Martin Heidegger juga dipengaruhi oleh Kierkegaard tokoh pendiri gerakan eksistensialisme.
Edmund Husserl yang mempengaruhi Martin Heidegger, memandang sebuah ilmu tentang metafisika. Husserl menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu harus berubah dari filsafat sebagai bagian dari ilmu kelaman yang empiris menjadi filsafat sebagai ilmu otonom, apriori, yang disebut dengan fenomenologi. Tetapi fenomenologi sangat berbeda dengan metafisika yang dianut oleh para filosof selama berabad- abad sejak Aristoteles. Metafisika mereka itu berpusat pada realitas tertinggi (Tuhan) yang hanya eksis “di dalam” dan “untuk” realitas itu sendiri. Metafisika ini mengungkapkan wilayah being yang tinggi bukan dalam pengertian being itu ada di luar pengalaman, akan tetapi ia sendiri hadir secara pasti di dalam pengalaman itu sendiri.[8]


Pemikiran Martin Heidegger mempengaruhi
Pemikiran Martin Heidegger mempengaruhi Herbert Marcuse. Pada tahun 1923 Herbert Marcuse meraih gelar “doktor filsafat”, dengan sebuah disertasi yang menyangkut kesusasteraan. Sesudah itu selama enam tahun ia bekerja dalam bidang penjualan dan penerbitan buku. Pada tahun 1929 ia kembali ke Freidburg untuk melanjutkan studinya pada Husserl dan Heidegger. Dibawah bimbingan Heidegger ia mempersiapkan Habilitationsschrift tentang Hegels Ontologie und die Grundlegung einer Theorie der Geschichtlichkeit (1932) (Ontologi Hegel dan pendasaran suatu teori tentang historisitas).  Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Marcuse. [9]
Herbert Marcuse lahir pada tanggal 19 juli 1898 di Berlin, Jerman dalam keluarga Yahudi dan wafat di Munich, 30 Juli 1979 saat ia berusia 81 tahun. Di masa Perang Dunia 1 ia memasuki wajib militer dan mulai terlibat aktif dalam politik militer dan menjadi anggota Partai Sosial Demokratik (Sosial Democratic Party), 1917 namun tak lama kemudian keluar dari partai tersebut tahun 1918. Di Berlin dan Freidburg, Herbert Marcuse belajar filsafat dan menjadi mahasiswa Martin Heidegger.[10]


Dampak Pemikiran Martin Heidegger
Filsafat Martin Heidegger (1889- 1973) sangat berpengaruh dalam permasalahan epistemology dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu permasalahan mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya di dunia ini melalui asumsi- asumsi pemahaman. Pengertiannya adalah asumsi, harapan dan konsep dipaparkan sebelum berfikir atas eksperimen. Analisa kehidupan sehari- hari membuktikan, bahwa sesuatu yang dapat dipahami merupakan akibat dari faktor yang tidak diketahui yang didapatkannya sebelum berfikir.
Setiap interpretasi, termasuk ilmu biologi, membutuhkan asumsi, contohnya ketika seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, langkah awal setiap penafsiran, selalu ada terlebih dahulu pendapat atas segala eksperimen. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai eksisetensi manusia yang memiliki sarana segala kondisi seseorang akan adanya pendapat. Heidegger juga meyakini bahwa penafsiran Desain dan eksistensi berdasar pada teks. Karena desain selalu memahami dan menafsirkan. Desain menafsirkan dunia dan diri, yakni memandang kehidupannya dengan metode khusus.
Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan kecerdasan identitas. Melalui filsafat Martin Heidegger eksistensi hidup manusia menjadi sejati, karena manusia mempunyai pengertian tentang keberadaannya hidup di dunia dan kesadarannnya akan Tuhan. Pengaruh dari filsafat Heidegger yaitu manusia  mampu menangkap kehadiran-Nya yang disebabkan bahasa ucap mengenai “ada” .
Percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu eksistensialis menggunakan bentuk- bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati. Menekankan pada keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analisis tidaklah mencukupi. Manusia modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan dan ketergantungan pada segala sesuatu di luar dirinya.

Pandangan Martin Heidegger berseberangan dengan pandangan
Dalam bidang filsafat, ada dua kutub pemikiran yang tengah menjadi mainstreamnya Martin Heidegger yaitu materialisme (Anaxagoras, Democritos) dan idealism (Socrates, Plato). Materialisme menempatkan materi sebagai yang utama (primer), sementara kesadaran diposisikan sebagai yang sekunder. Bagi mereka, materi ada sebelum jiwa (mind), sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. Sebaliknya, idealism menempatkan ide sebagai yang utama, sementara materi tidak lebih sebagai proyeksi dari ide. Dan upaya untuk mendamaikan antara keduanya itu sudah dilakukan oleh Aristoteles, namun tidak berhasil. Pertentangan keduanya kemudian berkembang dengan menemukan bentuk barunya, empirisme dan rasionalisme. Empirisme dengan dipelopori para filosof Inggris seperti F. Bacon, G. Berkeley, T. Hobbes, D. Hume, dan lainnya, menyatakan bahwa pengalaman adalah yang primer. Pengetahuan empiris ini kemudian memberikan refleksi pada kesadaran manusia. Sementara rasionalisme yang dipelopori oleh R. Descartes, Leibniz, Spinoza menempatkan rasio sebagai sentra persoalan filsafat. Pandangan filosofis yang demikian itulah yang kemudian mau dikoreksi oleh filsafat eksistensialisme ini. Bila Descartes menyatakan saya berpikir, maka saya ada, maka kalangan eksistensialis membaliknya menjadi saya ada, maka saya berpikir. Persoalan hubungan antara kesadaran (consciousness) dengan ada (being), antara pikiran dan materi, juga apakah pengetahuan tentang dunia itu dapat dikaitkan dengan dunia itu sendiri atau apakah kesadaran dapat dikaitkan dengan ‘ ada ‘.

DAFTAR PUSTAKA
Zubaedi. 2007. Filsafat Barat. Ar- russ Media: Jogjakarta
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Rineka Cipta: Jakarta
Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX Inggris- Jerman. PT. Gramedia: Jakarta
[1] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 137
[2] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 140.
[3] Save M. Dagun, 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 79.
[4] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 152.
[5] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 154-155
[6] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 157- 158
[7] Save M. Dagun. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 15-16.
[8] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 121- 122.
[9] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 196.
[10] Ahmad, Sohelmi. Pemikiran Politik Barat. Hal 387- 388.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar