Biografi Martin Heidegger
Pada tahun
1909 ia masuk Universitas Freidburg untuk belajar di fakultas teologi.
Setelah mempelajari. Setelah mempelajari teologi selama empat semester,
ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi
filsafat, ditambah dengan kuliah- kuliah tentang ilmu pengetahuan alam
dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termashur di fakultas
filsafat pada waktu itu adalah Heinrich Rickrt, yang sudah kita kenal
sebagai salah seorang penganut aliran neokantianisme. Heidegger
memperoleh gelar “doktor filsafat”, pada tahun 1913 dengan disertasi
tentang Die Lehre vom Urteil im Psichologismus (Ajaran tentang putusan
dalam psikologisme). Dua tahun kemudian ia mempertahankan
Habilitationsschrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und
Bedeutungslehre des Duns Scotus (ajaran Duns Scotus tentang kategori-
kategori dan makna). Tahun 1915 Martin Heidegger mulai mengajar di
Universitas Freiburg. Ketika Heidegger di bangku kuliah ia sudah
mendalami fenomenologi Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di
Freidberg, kehadiran itu membawa pengaruh besar pada diri Heidegger. Di
Universitas ini Husserl mengagumi kepintaran Heidegger dan dipercayakan
sebagai asistensinya. Pada tahun 1923, ia diundang ke Universitas
Marburg dan diangkat menjadi professor.[2]
Di sini ia
bertemu dengan Rudolf Bultman, seorang teoog terkemuka protestan. Pada
tahun 1928 ia diangkat menjadi professor di Freiburg sebagai pengganti
Husserl. Ketika Hittler berkuasa di Jerman, Heidegger dipilih menjabat
sebagai rector. Sikapnya ini mengundang kritikan banyak orang. Orang
menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu aktivitas Nazi.
Heidegger belakangan sangat menyesal dengan sikapnya itu dan ia
mengundurkan diri dan hidup menyepi di desa terpencil sampai akhir
hayatnya. Heidegger dikenal sebagai tokoh sentral pemikiran
eksistensialisme. Pemikiran eksistensialismenya dipengaruhi Kierkegaard,
tokoh pendiri gerakan eksistensialisme. Dalam perkembangan karier dan
pemikirannya nama Heidegger menempati deretan teratas dan namanya
menjadi sangat terkenal melalui karyanya yang monumental, Sein und zeit.
Ia pernah
menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan
berkenalan dengan teolog protestan kenamaan, Rudolf Bultmann, kemudian
kembali lagi ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia
sempat menyelesaikan karya monumentalnya Sein und Zeit (Being and Time).
Karena Husserl orang Yahudi, maka sewaktu ada gerakan Nazi, ia berpisah
dengannya. Pada 1933, ia menjadi rector pertama Universitas Freiburg
yang diangkat oleh gerakan National Socialist (Nazi) dengan pidato
pengukuhannya berjudul “Role of the university in the New Reich” yang
menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang Jaya. Begitu menyadari
kalau dirinya dieksploitasi, maka setahun kemudian, ia meletakan
jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiunan pada tahun 1957.
Karya- karya Martin Heidegger antara lain:
- Sein und Zeit (Ada dan Waktu), 1927
- Kant und das Problem der Metaphysic (Kant dan Metafisika), 1929
- Wast ist Metaphysic (Apakah Metafisika?), 1929
- Holzwege ( Jalan- jalan buntu), 1950
- Vortrage und Aufsatze, 1957
- Identitat und Differenz, 1969
- Zur Sache des Denkes, 1969
- Einfuhrung in die Metaphysic, 1953
- Was heist Denken, 1954
- Nietzhe, 1961
- Phanomenologie und theologie, 1970[3]
Selain Sein
and Zeit Einfuhrung in die Metaphysic, masih banyak lagi karyanya.
Kebanyakan tulisannya membahas masalah seperti “What is Being?”, “Why is
there something rather than nothing at all?” demikian juga judul –
judul mengenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.
Ada dua hal
mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger,
yaitu dehumanisasi atau depersonalisasi dimana pasca renaissance dan
enlightenment atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat- alat
industry, alat mekanik, zaman mesin (age of automation mechanism)
sehingga betul- betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi.
Yang kedua adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan
jelas, baik pada golongan materialisme ataupun idealisme yang mengakui
sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek
karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu
dengan realitas di sekitarnya.[4]
Pemikiran
Heidegger
mengangkat metode fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting
dalam menguji data pengalaman lansung. Dengan membuang semua konstruksi
epistemologis dan logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan
dunia luar akan menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang
menempatkan seorang sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek
dengan dunia obyek maka akan gagal mengungkapkan fakta yang
sesungguhnya. Supaya terhindar dari kegagalan seperti di atas maka
Heidegger beratok pada persoalan eksistensi manusia. Segala yang ada di
luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda- benda
yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan
dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang
dan dikonseptualkan sebagai berbeda- beda secara structural ke dalam
wilayah- wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Eksistensi
adalah keadaan actual yang terjadi dalam ruang dan waktu. Eksistensi
menunjukan kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”.
Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya.
Sementara esensi adlaah kebalikannya, yaitu sesuatu yang membedakan
antara suatu benda dan corak- corak benda lainnya. Esensi adalah yang
menjadikan benda itu seperti apa adanya.
Oleh karena itu untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan memahami kata- kata kunci, yakni:
- Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
- Seinde, yaitu beradanya benda- benda (things) yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang (vorhanden).
- Facticity, yaitu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar, dll.
Beberapa
kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan
merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya
dasar untuk menjelaskan ada itu adalah sein und zeit (being and time).
Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia
secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger tidak
bisa terlepas dengan waktu. Karena Dasein itu tidak lain adalah waktu
itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa
mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan
pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai
masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi.
Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya belaku
bagi being lain dan bukan pada dasein. Dasein mentransendensi being
lain, sebab pada dasein aktus pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan
diri bertemu. Dengan demikian dimensi waktu paling penting bagi
Heidegger adalah masa mendatang (future, zukunft). Dasein selalu berada
dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri
ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang harus
dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap- tahap yang
tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu, sekaran dan yang akan
datang.
Bagi
Heidegger, waktu itu sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah
seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan dan
potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak.
Dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan-
kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal
yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah
yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, karena ia
terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Heidegger
mengatakan dunia luar yang terdiri obyek- obyek hanya digunakan pada
setiap tidakan dan tujuan kegiatan manusia. Tetapi meski demikian,
tindakan pengetahuan manusia itu tidak terpisah dengan benda- benda di
sekitarnya. Heidegger juga membicarakan konsep waktu. Gagasan tentang
waktu dikaitkan dengan subyektif manusia. Waktu adalah tahap- tahap
eksistensi yang tidak dapat dipisahkan baik masa lalu, sekarang dan masa
yang akan datang. Dimensi waktu itu sama realnya. Dalam rentangan waktu
seorang individu itu senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan.
Potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak.
Disinilah manusia mempunyai pilihan- pilihan. Di sini pula manusia
terbentur pada kehilangan- kehilangan artinya ada pengalaman akan
ketiadaan dan ada hal- hal yang belum direalisir itu muncullah perasaan
cemas pada manusia. Inilah realitas manusia, ia terbentur dengan
ketiadaan dan keterbatasan. Hal ini pula ia merenung dirinya secara
mendalam. Dari intisari pemikiran di atas, lalu Heidegger kembali ke
pertanyaan awal, siapakah manusia itu sebenarnya? Apakah ADA yang
konkrit itu? Apakah ADA yang tertinggi itu? Apakah arti aku ada?
Semua
pertanyaan ini direnungkan manusia dalam mencapai eksistensi dirinya.
Kecemasan, pengalaman akan ketiadaan adalah nasib manusia. Heidegger
memandang manusia sebagai makhluk yang terlempar di dunia. Manusia
seolah hidup di sebuah tempat yang diapit jurang yang sangat dalam. Dia
berada diantara ADA dan KETIADAAN. Ia ada karena hidup di dunia dan
tiada karena berakhir dengan kematian. Kegelisahan manusia akan
pengalaman ketiadaan justru menyadarkan manusia itu sendiri. Ia pada
akhirnya harus berjumpa dengan soal- soal seperti temporalitas,
ketiadaan, akan pengalaman keterbatasan dan kematian.
Skema
pemikiran Heidegger terdapat dalam dua periode, yang dikenal sebagai
Heidegger I dan Heidegger II. Pemikiran Heidegger periode pertama
termuat dalam Ada dan Waktu. Heidegger membantah anggapan bahwa
pemikirannya yang termuat dalam Ada dan Waktu bercirikan eksistensialis.
Manusia
dapat mengajukan pertanyaan karena ia mempunyai pengertian akan ‘ada’
itu sendiri. Subyek manusia adalah kesadaran akan dirinya. Kata
kesadaran ini menjadi istilah kunci dalam filsafat Heidegger. Ia uga
memberikan istilah dasein bagi manusia. Artinya manusia adalah ‘ada
disana.. manusia tidak ada begitu saja tetapi berkaitan dengan adanya
sendiri. Berbeda dengan benda lain, manusia itu sadar akan adanya. Dalam
filsafat eksistensialis, Heidegger menjelaskan bahwa Dasein dicirikaan
sebagai eksistensi dan berada dalam dunia. Struktur- struktur dasarlah
atau ciri- ciri hakiki dasein disebutnya eksistensialis. Dalam persoalan
ini Heidegger memberikan uraian- uraian panjang tentang kematian. Dan
dia menjelaskan bahwa dasein merupakan ada yang menuju kematian. Di sini
ditekankan bahwa temporalitas dari dasein itu adalah orientasi pada
masa yang lampau, sekarang serta waktu yang akan datang, yang semuanya
dikaitkan dengan konsep masa yang akan datang.
Realitas atau Kebenaran
Heidegger
berpendapat bahwa pertanyaan mengenai hakikat ada itu hanya bisa dijawab
secara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologi Husserl. Metode
ini sangat penting dalam menguji data pengalaman langsung. Dengan
membuang semua konstruksi epistemologis dan logis dengan mencari suatu
perbedaan antara kesadaran dan dunia luar, maka akan ditemukan fakta
yang sesungguhnya. Heidegger memakai metode fenomenologi Husserl dalam
rangka menjawab tiga problem utamanya, yaitu siapakah manusia itu?
Apakah ada being yang kongkret? Dan apakah wujud realitas tertinggi itu?
Karena metode inilah yang menurutnya paling baik. Perbedaannya, kalau
Husserl mengarahkan metode ini pada “kesadaran” manusia, sementara
Heidegger kepada “kemanusiaaannya”. Dari sinilah terungkap artian
pandangan yang abstrak dari Husserl dan yang konkret bagi Heidegger.[5]
Ada dua
alasan pokok mengapa Heidegger menjadikan dasar filsafatnya pada “ada”:
pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari nuasnsa
religious dan kesadarannya akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh
kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang
Ada saja, eksistensi hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua,
kekosongan dari ketidakmampan manusia memahami Tuhan sehingga tidak
mampu menangkap kehadiran- Nya yang juga disebabkan bahsa ucap mengenai
“ada” tidak didengarkan, tidak diperbarui, dan tidak dikembangkan lagi,
sehingga filosofi harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu “ada”
untuk dibahaasakan kembali dan diberi arti baru. Dalam usahanya untuk
menemukan kembali dan memberi makna baru yang sejati akan yang “ada”
(sein, being), maka langkah awal yang dilakukannya adalah dengan
menyimpan terlebih dulu pengertian “ada” dari Plato sampai Hegel,
kemudian membuat sistematisasi filsafat baru dengan istilah, kata, dan
bahasa yang baru agar “berbeda” dengan mereka. Oleh sebab itu, untuk
memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat yaitu dengan
memahami kata kuncinya terlebih dahulu:
- Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
- Seinede yaitu beradanya benda- benda yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang
- Facticity yaitu suatu fakta bahwa eksistensi manusia di dunia empiris ini adalah being yang terlempar.
- Existentiality yaitu suatu fakta bahwa dasein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
- Forfeiture yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
- Geworfen- sein yaitu situasi keberadaan manusia konkret di dunia ini yang tahu- tahu sudah terlempar dan ada di bumi ini. Ia tidak memilih, tetapi sudah dilahirkan dan ada di jagad ini. \
- Some yaitu kecemasan mendalam, cemas akan macam- macam hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia.
- Zuhandenes yaitu lingkup dunia sarana- sarana alat- alat.
- Vorhandenes yaitu lingkup dunia benda- benda.
- Angst, yaitu ketakutan eksistensial, sebauah rasa takut yang bercampur cemas, gelisah, dan bertanya- Tanya yang muncl dan berkembang dari kesadaran manusia bahwa kelak (tanpa diketahui kapan) ia akan mati.
- Sein zum Tode yaitu langkah demi langkah menuju kematian.
- Entschlossenheit, yaitu ketegaran dalam menghadapi kematian.
- Entwurf yaitu yaitu persiapan atau rancangan- rancangan budaya yang diuat begitu menyadari akan eksistensinya guna sungguh- sungguh mengalami dirinya itu eksis.[6]
Beberapa
kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan
merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya
dasar untuk menjelaskan “ada” itu adalah being and time. Dua struktur
dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara
fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger, tidak bisa
terlepas dengan “waktu”. Karena dasein tidak lain adalah waktu itu
sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang
(future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu
ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa
sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi. Struktur
pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya berlaku bagi
beings lain dan bukan pada dasein. Dasein mentrandensi beings lain,
sebab pada dasein pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu.
Dengan demikian, dimensi waktu yang paling penting bagi Heidegger
adalah masa mendatang.
Dasein
selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein
melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan
sekarang harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah
tahap- tahap yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu,
sekarang dan masa yang akan datang. Bagi Heidegger, waktu itu
sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa
berada dalam kemungkinan- kemugkinan dan potenisalitas ini menjadi
alternatif bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti
itulah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada
pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi.
Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian
memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, garuh keniscayaan alam dan
sosial. Manusia membentuk dirinya dengan tindakan dan perbuatannya.
Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal- hal
sekitarnya. Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang terjadi dalam sejarah.
Aliran
Aliran
Martin Heidegger adalah eksistensialisme. Istilah eksistensi dan
eksistensial merupakan pengembangan istilah eksistensi. Dalam bahasa
kita, kedua istilah ini sama saja. Tetapi dalam bahasa inggris, dua
istilah ini dibedakan dengan existential dan existensiell. Kedua istilah
ini berasal dari filsafat eksistensialisme Jerman. Kata eksistensial
menunjuk pada pengalaman akan realitas dan berbagai dimensi kehidupan.
Kemudian menunjuk bahwa kesadaran seseorang yang dalam bertindak dan
memilih dapat menciptakan dan mengekspresikan identitas dirinya sendiri
dalam proses bertindak dan memilih yang bertanggung jawab. Pengalaman
terlibat kuat dalam hidup, baik dalam pemenuhannya maupun dalam
kesulitannya. Kata eksistensial dapat dipakai sebagai kata benda dan
kata sifat, yang menjelaskan apa yang menentukan pengertian manusia
terhadap dirinya sendiri yang independen terhadap pilihan bebasnya
sendiri. Dengan demikian eksistensi seseorang itu adalah sebagaimana
adanya dalam dunia. Saya hidup disini, di abad ini dan berbicara bahasa
Indonesia dan juga saya akan mati. Semua hal ini sudah ada sebelum
terwujudnya kebebasan manusia. Manusia harus berhadapan dengan semua ini
dan menyesuaikan diri dengan hal- hal ini.
Eksistensialisme
adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern. Istilah
eksistensialisme bukan memberikan suatu sistem filsafat secara khusus
karena ada sejumlah perbedaan – perbedaan yang besar antara semacam-
macam filsafat yang dikelompokan sebagai filsafat eksistensialisme.
Tetapi arus dasar gerakan ini sama yakni sikap berontak dan protes
terhadap beberapa sifat filsafat tradisional dan perilaku masyarakat
modern. Gerakan eksistensialisme ingin mengembalikan persoalan pada
eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala
berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi
pada manusia adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara berada
manusia itu berbeda dengan cara berada dari benda- benda. Kaum
eksistensialisme yang terkenal adalah Martin Heidegger.[7]
Pemikiran Martin Heidegger dipengaruhi oleh
Pemikiran
Martin Heidegger dipengaruhi oleh Husserl, sebelum melangkah ke filsafat
eksistensialisme, Heidegger dekat dengan gerakan fenomenologi. Bahkan
dalam menguraikan pemikiran eksistensialis, Heidegger mengangkat metode
fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data
pengalaman langsung. Dengan membuang semua kontruksi epistemologis dan
logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar akan
menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang menempatkan seorang
sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek dengan dunia obyek
maka akan gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Pemikiran Martin
Heidegger juga dipengaruhi oleh Kierkegaard tokoh pendiri gerakan
eksistensialisme.
Edmund
Husserl yang mempengaruhi Martin Heidegger, memandang sebuah ilmu
tentang metafisika. Husserl menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu harus
berubah dari filsafat sebagai bagian dari ilmu kelaman yang empiris
menjadi filsafat sebagai ilmu otonom, apriori, yang disebut dengan
fenomenologi. Tetapi fenomenologi sangat berbeda dengan metafisika yang
dianut oleh para filosof selama berabad- abad sejak Aristoteles.
Metafisika mereka itu berpusat pada realitas tertinggi (Tuhan) yang
hanya eksis “di dalam” dan “untuk” realitas itu sendiri. Metafisika ini
mengungkapkan wilayah being yang tinggi bukan dalam pengertian being itu
ada di luar pengalaman, akan tetapi ia sendiri hadir secara pasti di
dalam pengalaman itu sendiri.[8]
Pemikiran Martin Heidegger mempengaruhi
Pemikiran
Martin Heidegger mempengaruhi Herbert Marcuse. Pada tahun 1923 Herbert
Marcuse meraih gelar “doktor filsafat”, dengan sebuah disertasi yang
menyangkut kesusasteraan. Sesudah itu selama enam tahun ia bekerja dalam
bidang penjualan dan penerbitan buku. Pada tahun 1929 ia kembali ke
Freidburg untuk melanjutkan studinya pada Husserl dan Heidegger. Dibawah
bimbingan Heidegger ia mempersiapkan Habilitationsschrift tentang
Hegels Ontologie und die Grundlegung einer Theorie der Geschichtlichkeit
(1932) (Ontologi Hegel dan pendasaran suatu teori tentang
historisitas). Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Marcuse. [9]
Herbert
Marcuse lahir pada tanggal 19 juli 1898 di Berlin, Jerman dalam keluarga
Yahudi dan wafat di Munich, 30 Juli 1979 saat ia berusia 81 tahun. Di
masa Perang Dunia 1 ia memasuki wajib militer dan mulai terlibat aktif
dalam politik militer dan menjadi anggota Partai Sosial Demokratik
(Sosial Democratic Party), 1917 namun tak lama kemudian keluar dari
partai tersebut tahun 1918. Di Berlin dan Freidburg, Herbert Marcuse
belajar filsafat dan menjadi mahasiswa Martin Heidegger.[10]
Dampak Pemikiran Martin Heidegger
Filsafat
Martin Heidegger (1889- 1973) sangat berpengaruh dalam permasalahan
epistemology dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu
permasalahan mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya
di dunia ini melalui asumsi- asumsi pemahaman. Pengertiannya adalah
asumsi, harapan dan konsep dipaparkan sebelum berfikir atas eksperimen.
Analisa kehidupan sehari- hari membuktikan, bahwa sesuatu yang dapat
dipahami merupakan akibat dari faktor yang tidak diketahui yang
didapatkannya sebelum berfikir.
Setiap
interpretasi, termasuk ilmu biologi, membutuhkan asumsi, contohnya
ketika seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang
lain. Oleh karena itu, langkah awal setiap penafsiran, selalu ada
terlebih dahulu pendapat atas segala eksperimen. Heidegger menyebut
kondisi ini sebagai eksisetensi manusia yang memiliki sarana segala
kondisi seseorang akan adanya pendapat. Heidegger juga meyakini bahwa
penafsiran Desain dan eksistensi berdasar pada teks. Karena desain
selalu memahami dan menafsirkan. Desain menafsirkan dunia dan diri,
yakni memandang kehidupannya dengan metode khusus.
Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang
sangat berpengaruh, diri terkait dengan kecerdasan identitas. Melalui
filsafat Martin Heidegger eksistensi hidup manusia menjadi sejati,
karena manusia mempunyai pengertian tentang keberadaannya hidup di dunia
dan kesadarannnya akan Tuhan. Pengaruh dari filsafat Heidegger yaitu
manusia mampu menangkap kehadiran-Nya yang disebabkan bahasa ucap
mengenai “ada” .
Percaya
bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui.
Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu
eksistensialis menggunakan bentuk- bentuk sastra dan seni untuk
mengekspresikan perasaan dan hati. Menekankan pada keputusan dan
tindakan, sementara pemikiran dan analisis tidaklah mencukupi. Manusia
modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan dan ketergantungan
pada segala sesuatu di luar dirinya.
Pandangan Martin Heidegger berseberangan dengan pandangan
Dalam bidang
filsafat, ada dua kutub pemikiran yang tengah menjadi mainstreamnya
Martin Heidegger yaitu materialisme (Anaxagoras, Democritos) dan
idealism (Socrates, Plato). Materialisme menempatkan materi sebagai yang
utama (primer), sementara kesadaran diposisikan sebagai yang sekunder.
Bagi mereka, materi ada sebelum jiwa (mind), sedangkan pemikiran tentang
dunia ini adalah nomor dua. Sebaliknya, idealism menempatkan ide
sebagai yang utama, sementara materi tidak lebih sebagai proyeksi dari
ide. Dan upaya untuk mendamaikan antara keduanya itu sudah dilakukan
oleh Aristoteles, namun tidak berhasil. Pertentangan keduanya kemudian
berkembang dengan menemukan bentuk barunya, empirisme dan rasionalisme.
Empirisme dengan dipelopori para filosof Inggris seperti F. Bacon, G.
Berkeley, T. Hobbes, D. Hume, dan lainnya, menyatakan bahwa pengalaman
adalah yang primer. Pengetahuan empiris ini kemudian memberikan refleksi
pada kesadaran manusia. Sementara rasionalisme yang dipelopori oleh R.
Descartes, Leibniz, Spinoza menempatkan rasio sebagai sentra persoalan
filsafat. Pandangan filosofis yang demikian itulah yang kemudian mau
dikoreksi oleh filsafat eksistensialisme ini. Bila Descartes menyatakan
saya berpikir, maka saya ada, maka kalangan eksistensialis membaliknya
menjadi saya ada, maka saya berpikir. Persoalan hubungan antara
kesadaran (consciousness) dengan ada (being), antara pikiran dan materi,
juga apakah pengetahuan tentang dunia itu dapat dikaitkan dengan dunia
itu sendiri atau apakah kesadaran dapat dikaitkan dengan ‘ ada ‘.
DAFTAR PUSTAKA
Zubaedi. 2007. Filsafat Barat. Ar- russ Media: Jogjakarta
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Rineka Cipta: Jakarta
Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX Inggris- Jerman. PT. Gramedia: Jakarta
[1] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 137
[2] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 140.
[3] Save M. Dagun, 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 79.
[4] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 152.
[5] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 154-155
[6] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 157- 158
[7] Save M. Dagun. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 15-16.
[8] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 121- 122.
[9] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 196.
[10] Ahmad, Sohelmi. Pemikiran Politik Barat. Hal 387- 388.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar