Minggu, 25 Oktober 2015

IMANUEL KANT Dan PEMIKIRANNYA

Pemikiran Etika Kant



Immanuel Kant(1724-1804) adalah seorang filsuf besar Jerman abad ke-18 yang memiliki pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dan itu, dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya.

Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara baru sama sekali. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Copernicus, yang mematahkan pandangan bahwa bumi adalah datar.

Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).

Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, Prussia Timur (sesudah PD II dimasukkan ke Uni Soviet dan namanya diganti menjadi Kaliningrad). Berasal dan keluarga miskin, Kant memulai pendidikan formalnya di usia delapan tahun pada Collegium Fridericianum. Ia seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua matakuliah yang ada. Untuk mencari nafkah hidup, ia sambil bekerja menjadi guru pribadi (privatdozen) pada beberapa keluarga kaya.

Pada 1775 Kant rnemperoleh gelar doktor dengan disertasi benjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di antaranya metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap) karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.

Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada usianya yang kedelapanpuluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1 778), dan Die Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797).

Pemikiran Kant tentang Moral
Deontologi berasal dari kata Yunani “deon” yang berarati apa yang harus dilakukan, kewajiban. Pemikiran ini dikembangkan oleh filosof Jerman,Immanuel Kant (1724- 1804). Sistem etika selama ini yang menekankan akibat sebagai ukuran keabsahan tindakan moral dikritik habis-habisan oleh Kant. Kant memulai suatu pemikiran baru dalam bidang etika dimana ia melihat tindakan manusia absah secara moral apabila tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban (duty) dan bukan akibat. Menurut Kant, tindakan yang terkesan baik bisa bergeser secara moral apabila dilakukan bukan berdasarkan rasa kewajiban melainkan pamrih yang dihasilkan. Perbuatan dinilai baik apabila dia dilakukan semata-mata karena hormat terhadap hukum moral, yaitu kewajiban.

Kant membedakan antara imperatif kategoris dan imperatif hipotetis sebagai dua perintah moral yang berbeda. Imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat yang mewajibkan begitu saja suatu tindakan moral sedangkan imperatif hipotesis selalu mengikutsertakan struktur “jika.. maka.. “. Kant menganggap imperatif hipotetis lemah secara moral karena yang baik direduksi pada akibatnya saja sehingga manusia sebagai pelaku moral tidak otonom (manusia bertindak semata-mata berdasarkan akibat perbuatannya saja). Otonomi manusia hanya dimungkinkan apabila manusia bertindak sesuai dengan imperatif kategoris yang mewajibkan tanpa syarat apapun. Perintah yang berbunyi “lakukanlah” (du sollst!). Imperatif kategoris menjiwai semua perbuatan moral seperti janji harus ditepai, barang pinjaman harus dikembalikan dan lain sebagainya. Imperatif kategoris bersifat otonom (manusia menentukan dirinya sendiri) sedangkan imperati hipotetis bersifat heteronom (manusia membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan dan emosi).

Berkenaan dengan pemikiran deontologinya, Kant mengemukakan duktum moralnya yang cukup terkenal: “bertindaklah sehingga maxim (prinsip) dari kehendakmu dapat selalu, pada saat yang sama, diberlakukan sebagai prinsip yang menciptakan hukum universal. Contoh tindalah moral “jangan membunuh” adalahbesar secara etis karena pada saat yang sama dapat diunverasalisasikan menjadi prinsip umum, (berlaku untuk semua orang dimana saja kapan saja).

Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik tyang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendiri kecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya. Ketaatanku ini muncul dari sikap batinku yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diriku. Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya. Kedua, Ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, Ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas. Lalu Kant membedakan dua hal antara Legalitas dan Moralitas. Legalitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional.

Sedang Moralitas adalah Pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhi kewajiban yang muncul dari kehendak baik dari dalam diri. Selanjutnya Kant menjabarkan criteria kewajiban moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang mana sesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan. Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkan adalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yang berlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya. Ada tiga Rumusan Imperatif kategoris menurut Kant, Pertama, “ Bertindaklah semata-mata menurut menurut maksim yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hokum umum”.

Kata Maksim artinya adalah prinsip subyektif dalam melakukan tindakan. Maksim ini yang kemudian menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan seseorang, apakah tindakan moral yang berdasarkan maksimku dapat diuniversalisasikan, diterima oleh orang lain dan menjadi hokum umum?. Prinsip penguniversalisasian ini adalah ciri hakiki dari kewajiban moral. Rumusan kedua adalah “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukan manusia entah didalam personmu atau didalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan semata-mata sebagai sarana belaka”. Maksudnya bahwa segala tindakan moral dan kewajiban harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap person. Dua rumusan diatas tidak dapat berlaku jika tidak ada rumusan yang ketiga ini yaitu otonomi kehendak, tanpa otonomi kehendak, manusia tidak dapat bertindak sesuai dengan rumusan Imperatif Kategoris. Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga Postulat antara lain; Kebebasan kehendak manusia, immortalitas jiwa dan Eksistensi Allah. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusia tidak munggkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan Keberadaan Allah yang menjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannya dikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “Postulat” yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kant, Immanuel. 2005. Kritik Atas Akal Budi Praktis. Diterjemahkan dari judul Critique of Practical Reason (1956) oleh Nurhadi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bagus, Loren, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2002.
Budi Hardiman, F, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT Gramedia Pustaka utama, 2007.
Magnis-Suseno, Franz, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman Yunani sampai abad 19, Penerbit Kanisius Yogyakarta, 1997.
Standford Encyclopedia of Philosophy on-line, Kant’s Moral Philosophy, http://plato.stanford.edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar