Senin, 12 Oktober 2015

Filsafat Post Postivistik

FILSAFAT POST POSTIVISTIK

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Pendidikan belakangan ini mengalami kondisi yang memprihatinkan, dengan maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan pelajar adalah bukti bahwa pendidikan  telah gagal membentuk akhlak anak didik. Pendidikan selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik. Dapat di lihat di berapa banyak lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka. Tampak dunia pendidikan di Indonesia masih perlu perbaikan  karena sekarang ini yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja.
Kenyataannya yang dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi. sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi dunia pendidikan.
Pendidikan juga masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Kegagalan pendidikan bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.

Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu. Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Pentingnya Suatu Penentuan Filsafat dalam Pendidikan :Dr. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani mengemukakan pentingnya penentuan suatu falsafat bagi pendidikan sebagai berikut, Filsafat pendidikan itu dapat menolong perancang-perancang pendidikan dan orang-orang yang melaksanakan pendidikan dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran yang sehat terhadap proses pendidikan. Di samping itu dapat menolong terhadap tujuan-tujuan dan fungsi-fungsinya serta meningkatkan mutu penyelesaian masalah pendidikan; Filsafat pendidikan dapat membentuk azas yang khas menyangkut kurikulum, metode, alat-alat pengajaran, dan lain-lain.
Filsafat pendidikan menjadi azas terbaik untuk mengadakan penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat menjadi sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan siswanya di sekolah dan mengaitkannya dengan factor-faktor spiritual, social, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan insane yang sempurna baik lahir maupun batinnya, hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun makalah yang membahas mengenai “Filsafat Positivisme dan Post Positivisme dalam pendidikan”

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan Filsafat Positivisme?
2.    Bagaimana Filsafat Positivisme terhadap Pendidikan Indonesia?
3.    Apa yang dimaksud dengan filsafat post positivisme?
4.    Bagaimana filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia?
C.  Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui apa yang dimaksud dengan Filsafat Positivisme
2.    Memahami bagaimana filsafat positivisme terhadap pendidikan Indonesia
3.    Memahami apa yang dimaksud dengan filsafat post positivisme
4.    Mengetahui bagaimana filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengertian Filsafat Positivisme
Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti  aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan  ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Ajaran positivisme muncul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting dari aliran positivisme adalah August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).
Dalam perkembangannya aliran ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala, sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu:
1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
2.2              Filsafat positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Bila dikaitkan dengan pendidikan maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu membentuk manusia seutuhnya, dan yang dimaksud dengan manusia yang utuh adalah tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia yang diharapkan dalam system pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah pikir, berolah raga, dan berolah rasa.
Filsafat Positivisme mengarahkan agar pendidikan ini mengarah kepada hal yang baik, baik dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreativ yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
2.3              Pengertian Filsafat Post Positivsme
Munculnya gugatan terhadap positivisme  di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan, sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang  mustahil bila suatu realitas   dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivism dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.  Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.
Asumsi Dasar Post-Positivisme
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.       Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali. 
3.       Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.       Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6.      Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.      Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
2.4  Filsafat post positivisme terhadap pendidikan Indonesia
Dalam pendidikan Indonesia Pospositivisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide positivime. Post positivisme memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang pendidikan. Filsafat Pospositivisme mengarahkan agar pendidikan tidak hanya dari kejadian atau hal-hal yang dapat dibuktikan secara empiris atau dapat dilihat melainkan menggabungkan antara yang dilihat dan dirasakan. Contoh: pendidikan berkarakter itu akan berjalan dengan baik dan memberikan dampak yang positip, dilihat bukan hanya dari materi dalam pembelajaran melainkan ada juga dari perilaku dari guru, keluarga, dan lingkungan serta emosi anak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat positivisme merupakan filsafat dimana menekankan hal-hal yang berfokus kepada data yang empiris, sehingga apabila menyatakan sesuatu atau ilmu pelajaran harus disesuaikan dengan fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Dalam kaitannya filsafat positivisme pada pendidikan di Indonesia mengarahkan kepada hal yang baik, baik dari segi intlektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu, contoh ketika dalam sebuah materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa untuk berpikir kenapa hujan itu terjadi pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi, sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kreatif yang dapat berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar menjadi lebih baik dan berdaya saing.
Filsafat Post Positivisme muncul merupakan filsafat yang hadir sebagai pengkritisi dari apa yang diungkapkan oleh filsafat positivisme, Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.  Oleh karena itu dalam makalah ini akan membahas tentang pembahasan verifikasi secara mendalam.

DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung
Suparlan Suharsono. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : AR-RUZZ MEDIA
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2095576-pengertian-positivisme/#ixzz212vDuDVH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar