1. Latar Sejarah Filsafat Modern,dan
Lahirnya Reneisance
Sejarah filsafat terdiri dari tiga
periode. Periode pertama, adalah periode klasik, sebagai kelanjutan era
kuno yang dimulai dari Athena, Alexsanderia, dan pusat-pusat pemikiran
Helenistik dan Roma. Periode kedua, adalah periode pertengahan dan
periode ketiga, adalah periode modern yang dilanjutkan dengan periode
post-modernisme.
Socrates masuk pada kategori era
klasik bersama para filosof lainnya, semisal Plato yang menjadi muridnya dan
kemunculan Aristoteles sebagai murid dari Plato menjadi puncak keemasan era
filsafat klasik. Filsafat Plato menemukan sebuah realitas sejati yang
disebutnya sebagai dunia ide yang merangkum segala bentuk Kebenaran berdasarkan
ide atau sisi rasionalitas manusia.
Baginya realitis fisik adalah refleksi
terhadap dunia ide. Berbeda dengan muridnya, Aristoteles memperkenalkan paham
realisme. Menurutnya realitas adalah benda-benda konkrit yang menciptakan
kesatuan antara bentuk dan subtansi.
Setelah masa Aristoteles, wacana
kefilsafatan menjadi redup.Kerakteristik filsafat Barat abad pertengahan adalah
pembenaran terhadap otoritas Kitab. Salah seorang yang terkenal pada masa itu
adalah Thomas Aquinas (1225-1274 M), K. St. Bona Venture (1221-1257M).
Pemikiran mereka berusaha untuk merekonsiliasi antara akal dan wahyu. Mereka berusaha menjabarkan dogma-dogma Kristen
dengan ajaran filsafat.
Akal pada waktu itu bagaikan hamba perempuan
untuk memuaskan nafsu “kelaki-lakian” teologi Kristen. Seorang tokoh lain yang
muncul pada waktu itu adalah St. Agustinus (1354-1430M) bahkan tidak percaya
dengan kekuatan akal dalam mencari kebenaran apapun. Baginya kebenaran
sepenuhnya terbenam, berada dalam wahyu Tuhan (teks). Singkatnya, pada masa
itu, persoalan epistemologi mengalami kepiluan dan penderitaan di bawah tafsir
tunggal para agamawan yang sekaligus menjadi penguasa politik pada zaman
tersebut .
Kekuasaan keagamaan yang tumbuh
berkembang selama abad pertengahan di Eropa tampaknya menyebabkan terjadinya
supremasi Semitik di atas alam pikiran Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa
dapat memadukan Hellenisme yang bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran
agama yang bersifat samawi-supernatural. Dari
sinilah tumbuh rasionalisme, empirisme, idelisme, dan positivisme yang
kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap problem pengetahuan
nonmetafisika (bukan agama) dan lahirlah babakan baru yakni babak modern yang
ditandai dengan gerakan renaissance yang merentang dari abad 14 M hingga
abad 16.
Reneisance dalam bahasa Prancis dan
Inggris berarti kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Dalam bahasa latin,
kata renaissance diidentikkan dengan arti kata, nascentia, nascor, yang
bermakna kelahiran, lahir, dilahirkan. Istilah ini
meliputi suatau zaman di mana setiap orang merasa dilahirkan kembali dalam
keadaban.
Zaman tersebut menekankan otonomi
atau kedaulatan manusia dalam berfikir, bereksplorasi, bereksprimen dalam
mengembangkan seni sastra dan ilmu pengetahuan di Eropa. Manifestasi utama dari
gerakan ini adalah; gerakan humanisme, eksistensialisme dan naturalisme dengan
menerjemahkan kembali sumber-sumber Yunani dan Romawi yang mengantar terbukanya
pemikiran manusia terhadap illmu-ilmu baru (modern). Dalam bidang agama istilah
renaissance ditandai dengan terusiknya kemapanan agama Kristen yang mengarah
pada reformasi protestan.
2.
Karakteristik Filsafat Moderen
Reneisance Eropa yang mengantar
babak modern, memicu berkembangnya filsafat yang bercorak empirik. Akibatnya
metodologipun berkembang ke induksi-eksprimentasi. Tokoh-tokoh yang membuka
jalan ke gerbang ini antara lain adalah, Copernicus, Kepler, Galileo, Isac
Newton dll.
Lahirnya metodologi baru pada era
ini akibat terjadinya pergeseran paradigma filsafat. Manusia melihat, merasakan
dan menyadari adanya potensi pada dirinya untuk menentukan kebenaran, tolak
ukur dan validitasnya lewat metode penginderaan-observasi, eksprimen terhadap
realitas fisik melahirkan cara yang selanjutnya disebut metode ilmiah. Efek metode ini melahirkan teori holosentris
(Copernicus), Kepler mengganti teologi langit skolastisisme dengan fisika
langit. Demikian juga dengan Galileo yang menurunkan derajat alam sebagai benda
yang memiliki kualitas ketuhanan menjadi benda alam yang matematis-kuantitatif
(profan). Newton, sang jenius, berhasil menumbangkan kosmologi gereja yang
menganut paham teologis-skolastik dengan prinsip determinisme mekanika
universal. Kebebasan dan kreativitas berpikir ini menimbulkan kemarahan pihak
gereja yang merasa otoritasnya terancam sehingga kaum gerejawan memilih jalan
suram dengan menghukum mereka bahkan membunuhnya.
Keberhasilan ilmu-ilmu empirik yang
diraih pada masa Reneisans menjadikan filsafat, terutama epistemologi
rasional-intuitif, mengalami kemunduran. Gereja terjebak dalam reaksi ekstrim
dengan memutuskan kemampuan akal dan ilmu serta membentengi ajarannya dengan
perisai kalbu dan keimanan. Sesuatu yang sangat apologis.
Di sisi lain kegemilangan ilmu-ilmu
alam (fisika) dengan Newton sebagai tokoh utamanya telah membangkitkan semangat
empirisme rasional-materialistik dibidang astronomi, biologi, psikologi,
sosiologi, maupun filsafat. Laplace misalnya, berani mengatakan bahwa teori
astronomi yang dibangunnya tidak membutuhkan hipotesis tentang peran Tuhan
untuk menjelaskan asal-usul alam semesta. Begitu
juga Darwin yang menafikan keterlibatan Tuhan dalam kehidupan organis, yang
berjalan sendiri melalui prinsip mekanika hukum evolusi yaitu seleksi alamiah.
Demikian juga dengan Freud yang memandang
konsep Tuhan bagi orang-orang beragama sebagai ide ilusif karena berasal dari
imajinasi ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi fenomena yang ada diluar
dirinya. Sedangkan bagi Durkheim, kekuatan
supranatural atau hal-hal yang gaib tidak lebih dari kekuatan-kekuatan listrik
yang terkonsentrasi dalam diri manusia, sehingga ia tidak bercaya pada
metafisika atau Tuhan. Menurutnya, yang lebih
pantas disebut sebagai Tuhan adalah masyarakat, karena masyarakat mampu
mengakomodasi hal-hal diyakini sebagai sifat-sifat Tuhan.
Kemudian tak ketinggalan pula Karl
Marx mengatakan agama adalah candu, konsep surga dan kerajaan Tuhan di akhirat
adalah refleksi penderitaan kaum proletar sebagai manuver kaum borjuis untuk
menyembunyikan realitas sosial yang sebenarnya, agar kedudukan mereka sebagai
tuan tanah tetap kukuh dan memonopoli alat-alat produksi hingga mereka tetap
menguasai roda ekonomi sekaligus aman dari kemarahan kaum proletar. Agama tidak lain dari konstruk borjuis bukan berasal
dari dunia gaib. Demikianlah dampak dari traumatisasi masyarakat Eropa terhadap
agama yang kemudian mencari penenangnya pada ilmu pengetahuan yang berubah
makna tidak lebih sebagai ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial dengan menjadikan
eksprimen dan observasi sebagai pisau analisis metodologis.
Selanjutnya, Pranarka menjelaskan
bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung, suatu gerakan
yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu
membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan
dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan
filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa
perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika antara pola
absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-aliran
dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di
samping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu
pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang
mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di
dalam hidup dan kehidupan manusia.
Peradaban Eropa modern terbentang
mulai dari abad -15 hingga abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap
periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip oleh Rodliyah Khuzai,
mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dibanding periode
pertengahan.
1. Pertama, berkurangnya
otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
- Kedua, kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
- Ketiga, jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia yaitu (practical Science).
- Keempat, jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
- Kelima, kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.
Berman mengidentifikasi tiga fase
perbedaan secara historis perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad
ke-18.
1. Pertama, pengalaman
kehidupan modern.
2. Kedua, revolusi Prancis
dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang
berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3. Ketiga, kemudian terjadi
peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih
mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak
munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman menyoroti modernitas dari
sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa
modern di bangun dari beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda
Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial
politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip
perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi juga berhubungan dengan
industrialisasi. Ia petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi
dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat
dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan
dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk
mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai
eksprimen mengelola alam.
Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar
pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini,
menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya
pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme,
postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmoderen hingga teori
kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut
sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami
demam “kontras-paradigmatik”.
3. Aliran-Aliran Pokok Dalam Filsafat Modern
a. Rasionalisme
Usaha kritis dalam filsafat adalah
untuk memeriksa kembali nilai pengetahuan manusia. Hal ini di pandang sebagai
usaha manusia untuk membedakan apa yang mantap dengan apa yang rapuh di dalam
keyakinan-keyakinan umum. Namun kesulitannya adalah menemukan norma untuk
melaksanakan pembedaan ini. Apakah ciri hkas dari pengetahuan yang kokoh yang
membedakannya dari pengetahuan yang palsu ? Salah satu usaha radikal dan cerdik
untuk menjawab persoalan ini ialah dengan metode yang dikenal nama metode
rasional.
Rasionalisme. Mazhab ini dipelopori
oleh Rene descartes (1596-1650), seorang filosof Prancis yang digelar sebagai
bapak filsafat modern. Setelah lama merenung ia
munculkan untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat idealitas yang berakar
pada idealisme Plato. Ia melahirkan prinsip yang terkenal cagito ergo sum
(aku berpikir maka aku ada). Dalam pencarian pondasi yang kuat bagi
pengetahuan, ia memutuskan untuk tidak menerima kebetulan-kebetulan dan menolak
semua yang tidak pasti.
Dalam hal, Kennet T Gallagher
menyebutnya sebagai skeptisme moderat, lawan dari skeptisme absolut dimana
Descartes mengistilahkan metodenya sebagi keraguan metodis Universal. Ia menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan.
Salah satu cara untuk mengetahui sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan
adalah dengan melihat seberapa jauh sesuatu itu dapat diragukan.
Menurut Decartes observasi melalui
penginderaan, kadang-kadang menipu manusia, konsekwensinya manusiapun kadang
melakukan kesalahan dalam penalaran. Namun jika manusia “membuang” semua
dimensi inderawinya, maka kalaupun ada, apalagi yang tersisa? Dia mengatakan;
Kita harus mengakui benda-benda
jasmani ada. Namun, mungkin benda-benda tersebut tidak persis sama seperti yang
saya tangkap dengan indera, sebab pemahaman dengan indera ini dalam banyak hal
sangat kabur dan kacau; tetapi kita sekurang-kurangnya harus mengakui bahwa
semua benda yang saya pahami di dalamnya dengan jelas dan disting...haruslah
sungguh-sungguh dipahami sebagai obyek luar.
Bagi Descartes dunia yang nampak
oleh indera tidak akan mampu memberikan keyakinan benar, seperti oase di tengan
pada pasir. Oleh karena apa yang nampak bahkan tubuh kita sendiri, nampaknya sangat
meragukan, sehingga tidak ada satupun yang nyata kecuali keraguan itu sendiri.
Ketika segalanya nampak meragukan,
tentu saja saat itu ada sesuatu yang melakukan tindakan meragu, yaitu “aku”
yang sedang ragu, berpikir dan sadar. Inilah pengetahuan yang terang dan jelas
(clara et distincta) kebenaran yang tidak lagi terbagi. Ide seperti ini ini,
clara et distincta, adalah cita-cita kesempurnaan bagi suatu pengetahuan dan
hanya yang tak terbatas yang menyebabkan ide itu ada dalam diri manusia. Dan
yang sempurna itulah tuhan. Oleh karena itu
Tuhan adalah aksistensi yang jelas
dengan sendirinya. Dia-lah yang menjamin keberadaan akal manusia, sehingga
kerja akal turut dalam dalam jaminan Tuhan. Maka konsepsi akal mengenai jumlah,
letak dan ukuran, semua obyek yang bersifat materi pastilah benar. Pada posisi
ini manusia mampu memahami kebenaran secara obyektif. Oleh
karena itu rasionalisme Descartes memandang ilmu pengetahuan bersifat obyektif.
Descartes mengajukan tiga jenis
subtansi dasar yaitu; Tuhan, pikiran dan materi. Tuhan adalah subtansi utama
yang menciptakan dua subtansi yang lain. Pikiran
sesungguhnya adalah kesadaran ia tidak mengambil tempat dalam ruang, karena
tidak dapat dibagi. Sedangkan dunia luar atau badan adalah materi yang
cenderung mengalami perluasan (ekstensa) dan mengambil tempat dalam ruang,
karenanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Alam atau materi adalah
kumpulan dari bagian-bagian kecil yang bekerja menurut hukum mekanik. Dengan demikian tubuh manusia, sebagai alam materi,
seperti mesin otomatis atau arloji yang dapat bekerja sendiri meskipun lepas
dari pembuatnya.
Secara demikian Descartes, sebagai
tokoh sentral rasionalisme modern, memandang bahwa alam materi hanya dapat
dipahami dengan metode analisis, yaitu mereduksi realitas material menjadi
bagian-bagian kecil dan matematika adalah bahasannya. Tuhan berlaku sebagai
penjamin keberadaan akal dan materi, tuhan menciptakan alam seperti seorang
menciptakan jam yang sekali jadi tidak ada lagi hubungan dengan penciptanya. Hubungan pencipta dengan yang diciptakan hanyalah
berlaku sebagai hubungan pertama.
Epistemologi rasionalitas-Cartesian
jelas memisahkan antara pengetahuan alam materi dengan pengetahuan alam
metafisik. Alam materi hanya dapat diperoleh melalui analisis, eksprimentasi,
sedangkan kebenaran tentang Tuhan atau kebenaran yang bersifat metafisik
berhenti secara sederhana. Tuhan tetap aman pada tempatnya sebagai pencipta,
selain itu tidak ada “tempat” untuk Tuhan.
Mengenai hal ini Kennet T Gallagher
menyebut pandangan Descartes sebagai pandangan dikotomis yang dilain sisi
menegaskan pandangan mekanis mengenai alam semesta yang memungkinkan kemajuan
pesat di dalam sains, tetapi memperlakukan manusia seperti “hantu yang merasuki
sebuah mesin” yang bekerja dengan hukum mekanika mesin.
Pada realitas ini, Descartes menimbulkan masalah lain yaitu tentang akal
budi manusia yang sangat rumit, terkait dengan segala dimensi idealitasnya.
Selain Descartes, rasionalisme abad
17 memiliki beberapa tokoh sentral seperti Spinoza (1632-1677), Lebnis
(1648-1716). Kebanyakan para filosof rasionalis
tertap mempertahankan eksistensi Tuhan, walaupun tetap terjadi pemisahan
radikal antara alam dengan Tuhan.
b. Empirisme
Empirisme pertama kali diperkenalkan
oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17. Ia
bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak
memberi kemajuan tidak mem- beri hasil yang bermanfaat, dan tidak memberikan
hal-hal yang baru bagi kehidupan.Akan tetapi perkembangan pemikiran empirisme
ini di desain secara lebih sistemik oleh John Locke yang kemudian dituangkan
dalam buku- nya “Essay Concerning Human Understanding (1690)”.John Locke
memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula
rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun.
Lingkungan dan pengalamanlah yang
menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan
seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap
konsepsi intuisi dan batin.
Menurut John Locke ide dalam benak
manusia didapatkan melalui pengalaman atau aposteriori. Ide manusia lalu
terbagi dua yaitu ide sederhana dan ide kompleks. Ide sederhana didapatkan
melalui penginderaan yang disebut sensasi, sedangkan ide kompleks ialah
refleksi terhadap ide sederhana yang kemudian membentuk persepsi. Pengetahuan yang rumit harus dapat dilacak kembali
pada penginderaan yang sederhana, jika tidak akan beresiko menjadi pengetahuan
yang keliru, karenanya harus ditolak.
Bagi Locke persepsi manusia dapat
membedakan dua kualitas pada benda, yaitu kualitas primer dan kualitas
sekunder. Kawalitas primer bersifat riil yang terdapat pada benda itu sendiri, seperti;
kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, berat, jumlah dan lain-lain. ide yang timbul dari kualitas primer
merepresentasikan benda secara akurat, kualitas inilah yang merupakan bagian
esensial dalam kerakteristik kebenaran pengetahuan. Karena itu ilmu bersifat
obyektif yang dikarenakan berdasarnya nilai pada indera yang merefleksikan
kualitas primer pada benda. Selain kualitas primer ide juga merupakan kualitas
lain ketika mempersepsi kualitas sekunder seperti, warna, bau, rasa, suara,
yang bergantung pada kemampuan persepsi manusia, karena tidak menggambarkan
realitas sejati dan mungkin saja meleset sehingga tidak terjamin kebenarannya.
Oleh karena itu ide yang muncul dari kualitas
sekunder bersifat subyektif. Berdasarkan pemahaman ini maka pengetahuan manusia
tentang Tuhan dengan sendirinya bersifat subyektif. Karena berdasarkan teori
ini, ide tentang Tuhan dapat dirasakan melalui eksistensi diri, bahwa diri
manusia adalah sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada hanya tercipta dari keabadian
dan ketiadaan tidak mungkin mengahasilkan sesuatu. Pengetahuan manusia yang
bersumber dari eksistensi dirinya bermula dari eksistensi yang lebih luas atau
eksistensi abadi dan inilah yang disebut Tuhan. Namun sayangnya pengetahuan
manusia mengenai eksistensi tergolang dalam kualitas sekunder, dimana kualitas
sekunder mungkin saja keliru. Karena itu meskipun metode Locke mengakui ide
tentang Tuhan namun ide tersebut sangatlah samar dan meragukan. Hanya sains yang jelas dan terang serta pasti,
karena berangkat dari kualitas primer yang mengambarkan dunia materi secara
akurat meskipun dunia yang digambarkan adalah dunia yang tak bernyawa dan tidak
berbeda dari mesin.
Filsuf empirisme lainnya adalah
Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (a bundle or
collection of perception). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja
lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya,
menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap
substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap
hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab
dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal
kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia
memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan
kumpulan persepsi saja.
c.
Kritisme
Skeptisme yang dibangun oleh Hume
secara perlahan mengilhami munculnya pemikiran kritis asal jerman bernama
Immanuel Kant (1724-1804). Dalam sebuah pengakuannya Kant menyataklan bahwa
Hume-lah yang membangunkannya dari ketidak sadaran dogmatis yang dialaminya. Mulanya
Kant mengaku rasionalisme lalu kemudian empirisme datang mempegaruhinya. Namun
Kant tidak sepenuhnya di bawah pengaruh empirisme dan tidak menerima metodenya
dengan begitu saja, karena dia menganggap emperisme membangun keraguaan
terhadap akal budi. Walaupun dia mengakui kebenaran pengatahuan indera sambil
tetap juga mengakui kebenaran akal budi, tetapi syarat-syaratnya harus tetap
dicari, yaitu dengan menyelidiki atau mengkritik pengetahuan akal budi dan akan
diterangkan apa sebabnya, dengan demikian pengetahuan menjadi mungkin, itulah
sebabnya mengapa aliran Kant disebut kritisme.
Kant merupanya menggabungkan empirisme
dan rasioaliosme dengan mencari sintesis antara keduanya. Dalam pandangan Kant,
manusia tidak dapat mengetahui dunia hanya dengan nalar dan observasi.
Kemampuan manusia terbatas dalam memahami hakekat dunia, tetapi tidak berarti
dunia tidak dapat dipahami oleh manusia.
Pengakuan keterbatasan ini
dikemukakan Kant lewat teori kritiknya, yaitu; usaha-usaha untuk meninjau
batas-batas pengetahuan manusia lewat realitas. Menurutnya realitas memiliki
hal empirik dan transendental. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang
pasti kebenarannya, sehingga ia bersifat laten dan harus diterima tanpa ada
kritikan. Oleh karena itu ia berada diluar tapal batas pengetahuan manusia,
yang oleh Khan disebut noumena. Akan tetapi yang transendental itu memililki refleksi
empirik, yaitu apa yang nampak sebagai citra dari noumena dan dapat diketahui
manusia sebagai fenomena.
Pengetahuan adalah tidak lebih dari
sebentuk keputusan yang terdiri dari pengetahuan apriori dan pengetahuan
apestriori. Pengetahuan apriori terlepas dari pengalaman yang disebut sebagai
keputusan analitik. Pengetahuan apestriori bersumber dari indera yang
menghasilkan keputusan sintesis. Menurut Khan, pengetahuan analitik tidak
memajukan ilmu pengetahuan karena penemuan-penemuan baru tidak dapat menemuikan
jalan untuk berhubungan untuk berhuungan dengan dunia materi. Sebaliknya
pengetahuan sintetis melalui indera tidak mempunyai validitas ilmiah karena
indera hanya berhubungan dengan sesuatu yang tunggal dan terpisah. Oleh karena
itu Khan mencoba meakukan terbosan baru yaitu adanya pernyataan sintetik yang
bersifat opriori. Teori mengatakan bahwa benak manusia tidak hanya bersifat
fassif menerima data-data inderawi, tetapi justru aktif, memaksakan strukturnya
kedata-data inderawi.
Berpikir menurut Khan tidak hanya
menerima kesan inderawi, tetapi juga membuat keputusan tentang apa yang kita
alami. Pengetahuan manusia muncul dari dua sumber utama dalam benak; pertama,
fakultas pencerapan, kedua, fakultas pemahaman yang membuat keputusan
pada data indera dan diperoleh melalui fakultas pertama. Fakultas pencerapan
menerima data inderawi dan menatanya dengan kategori ruang dan waktu, sedangkan
fakultas pemahaman menyatakan pengalaman yang diterima pencerapan, melalui
kategori-kategori apriori untuk ditata higga menjadi keputusan. Kategori yang
dimaksud ialah kuantitas, kualitas, rasio dan modalitas.
Karena bentuk-bentuk intelektual ini
adalah apriori, ia mempuanyai sifat universal dan pasti. Kategori-kategori
tersebut merupakan syarat apriori yang memungkinkan suatu keputusan tentang
obyek. Pikiran manusia mampu mengetahui benda-benda sebagaimana ia nampak
sesuai dengan kategori atau bentuk-bentuk intelektual, tetapi Ia tidak dapat
sampai pada hakekat pengetahuan tentang obyek. Kant berpendapat bahwa pengetahuan
tidak perlu melampaui pengalaman, karena penampakan obyek indera menjadi
wilayah obyektif yang akan menyatakan pengetahuan ilmiah. Dengan mengetahui
keteraturan pada dunia eksternal melalui kategori-kategori, manusia akan
mengetahui secara akurat mengenai obyek sebagaimana adanya hingga fakta dapat
dipahami. Dengan demikian pengetahuan bersifat
obyektif karena benak manusia mampu memahaminya secara benar melalui
kategori-kategori yang bersifat pasti.
Pemikiran yang dikembangkan oleh
Khan jelas memisahkan antara fenomena dan neomena antara dunia materi dan dunia
metafisika, serta antara akal dan Tuhan. Manusia hanya akan mampu menangkap
fenomena melalui dunia materi, sedangkan nomena dan metafisika tidak dapat
dipahami. Begitu pula halnya akal dan kebebasannya, tidak mungkin memahami
Tuhan sebab paradigma ilahiyah hanya dapat diyakini melalui moral berdasarkan
perasaan.
Ciri pokok filsafat modern adalah:
1. pertama, bebas nilai,
subyek peneliti harus mengambil jarak dari semesta dan bersikap imparsial-netral.
- Kedua, fenomenalisme, yaitu pengetahuan yang absah hanya berfokus pada fenomena alam semesta, sehingga proposisi-propososi metafisika seperti “keberadaan Tuhan” ditolak mentah-mentah karena ia adalah proposisi tak berarti, tidak masuk akal, sebab tidak ada pembuktian indrawinya, oleh karena itu Tuhan dan wacana-wacana spritual dalam kacamata positivisme dianggap nonsense.
- Ketiga, nominalisme. Kenyataan satu-satunya adalah individual partikuler, sedangkan unversalisme adalah penamaaan semata.
- Keempat, reduksionisme. Semesta direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat dipersepsi.
- Kelima naturalisme. Peristiwa-peristiwa alam adalah keteraturan yang menisbikan penjelasan adikodrati.
- Keenam, mekanisme. Semua gejala-gejala alam bekerja secara determinis-mekanis seperti mesin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar