Senin, 26 Oktober 2015

Menguak Jejak Iluminati dan Freemasonry di Indonesia

Terlepas dari benar atu tidaknya. Namun fakta membuktikan bahwa freemason dan iluminati memang ada di Indonesia. Negara yang kita cintai ini. Baik berikut beberapa ulasannya.

Jejak simbol Iluminati dan Freemason di Jakarta 
 
Tahukah Anda jika kota Jakarta itu dibangun para Freemason di Indonesia? Sejak pembangunan Stadhuis, kini dikenal sebagai Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah (kordinat: 6°8’7.2377”S 106°48’48.164”E) di tahun 1707 hingga sekarang, para Freemasonry ini terus membangun Jakarta dan menyisipkan aneka simbol ‘pagan’nya ke ibukota tercinta ini.

Gedung Gubernur Jenderal Batavia Jakarta ini dulu bernama Stadhuis of Batavia, yang kini dikenal sebagai Gedung Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah, di bangun pada tahun 1707.

Tahukah Anda jika luas keseluruhan Museum Fatahillah adalah 13.000 meter persegi? Tahukah Anda jika gerbang utama Museum Fatahillah terdiri dari 13 buah batu berbentuk Arch? Tahukah Anda jika batu istana DAM di depan Museum Fatahillah tersusun atas 13 baris? Tahukah Anda jika struktur paramida keanggotaan Freemansory juga terdiri dari 13 tingkat? Tiga belas adalah nomer baik untuk para Freemason.

Tahukah Anda jika Freemason Belanda membangun pusat Menteng (Taman Suropati dan gedung Bappenas sekarang, (kordinat 6.2007362S 106.8322027E) dengan desain simbol kepala kambing iblis Baphomet yang sampai sekarang masih bisa disaksikan oleh siapapun?

Tahukah Anda jika renovasi Air Mancur bundaran Hotel Indonesia (kordinat 6.1949711S 106.8230563E) di tahun 2001 sarat dengan simbolisme Kabbalah (yang merupakan campuran antara ilmu perbintangan, ilmu sihir zaman Firaun dan Raja Nimrodz, dan paganisme lainnya) dimana proyeknya mengambil tema sentral “Cahaya” atau “Illuminati“?


Taman Menteng Suropati :
Peta pusat wilayah elit Menteng, Jakarta Pusat setelah diputar 180 derajat, di mana sebelah bawah adalah arah utara. Salah satu bangunan yang berada di dalam kepala binatang bertanduk atau Baphomet adalah lokasi Loji Adhucstat atau yang kini dijadikan Gedung BAPPENAS.

Tahukah Anda jika ratusan simbol Kabbalah bertebaran di Museum Taman Prasasti (kordinat 6.1722143S 106.8188667E) di Tanah Abang?
Tahukah Anda jika ada sebuah makam di Museum Prasasti Tanah Abang yang tidak bernama namun memiliki simbol Grand Master Freemasonry?
Tahukah Anda jika dibawah tanah Jakarta ada berbagai terowongan rahasia yang saling terhubung, yang sampai sekarang pintunya masih bisa disaksikan di berbagai tempat?
Tahukah Anda jika Masjid Istiqlal dibangun diatas sebuah benteng Belanda yang dikenal sebagai Benteng Tanah karena dibawahnya ada terowongan rahasia?
Dan masih banyak kejutan-kejutan fakta lainnya meliputi Jakarta. Diramu dengan kisah pembunuhan terhadap tokoh neolib negeri ini, novel “The Jacatra Secret” terasa begitu renyah dan akan mengubah paradigma Anda tentang Jakarta dan bangsa ini secara keseluruhan.



Freemason Era Soekarno
Di tahun 1945-1950an, loji-loji Freemasonry oleh kaum pribumi Indonesia disebut pula sebagai “Rumah Setan” disebabkan ritual kaum Freemason selalu melakukan pemanggilan arwah orang mati.

Soekarno, the first President of Indonesia
Lama-kelamaan hal ini mengusik istana, sehingga pada Maret 1950, Presiden Soekarno memanggil tokoh-tokoh Freemasonry Tertinggi Hindia Belanda yang berada di Loji Adhucstat (sekarang Gedung Bappenas-Menteng) untuk mengklarifikasi hal tersebut.

Di depan Soekarno, tokoh-tokoh Freemasonry ini mengelak dan menyatakan jika istilah “Setan” mungkin berasal dari pengucapan kaum pribumi terhadap “Sin Jan” (Saint Jean) yang merupakan salah satu tokoh suci kaym Freemasonry. Walau mereka berkelit, namun Soekarno tidak percaya begitu saja.

Akhirnya, Februari 1961, lewat Lembaran Negara nomor 18/1961, Presiden Soekarno membubarkan dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia.

Lembaran Negara ini kemudian dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala “derivat”nya seperti Rosikrusian, Moral Re-armament, Lions Club, Rotary Blub, dan Baha’isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita oleh negara.

Freemason Era Gus Dur

Namun 38 tahun kemudian pada saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi presiden Indonesia ketiga, ia mencabut Keppres nomor 264/1962 tersebut dengan mengeluarkan Keppres nomor 69 tahun 2000 tanggal 23 Mei 2000.

Sejak itulah, keberadaan kelompok-kelompok Yahudi seperti Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau Freemasonry Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i menjadi resmi dan syah kembali di Indonesia.

Sungguh ironis, Keppres no 69/2000 yang dikeluarkan oleh Gus Dur tersebut sampai sekarang masih saja berlaku dan belum dicabut.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 69 TAHUN 2000
TENTANG
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN1962
TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMOKRASI, ROTARY CLUB,
DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMETSELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA),
MORAL REARMAMENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATION
OF ROSI CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa pembentukan organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan pada hakekatnya merupakan hak asasi setiap warganegara Indonesia;
  2. bahwa larangan terhadap organisasi-organisasi sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962, dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi;
  3. bahwa meskipun dalam kenyataannya Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 sudah tidak efektif lagi, namun untuk lebih memberikan kepastian hukum perlu secara tegas mencabut Keputusan Presiden tersebut;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, b, dan huruf c di atas, maka dipandang perlu untuk mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962;
Mengingat :
  1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PENCABUTAN KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 264 TAHUN 1962 TENTANG LARANGAN ADANYA ORGANISASI LIGA DEMO-KRASI, ROTARY CLUB, DIVINE LIFE SOCIETY, VRIJMET-SELAREN-LOGE (LOGE AGUNG INDONESIA), MORAL REARMA-MENT MOVEMENT, ANCIENT MYSTICAL ORGANIZATION OF ROSI CRUCIANS (AMORC), DAN ORGANISASI BAHA’I.
Pasal 1
Mencabut Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 tentang Larangan Adanya Organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Loge (Loge Agung Indonesia), Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians (AMORC) dan Organisasi Baha’i.
Pasal 2
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Mei 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Lalu Bagaimana denga Tokoh-tokohnya. Ini dia Penjelasan dan Foto-fotonya. 
 







Komisaris Jenderal (Pol.) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (lahir di Bogor, Jawa Barat, 7 Juni 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Agustus 1993 pada umur 85 tahun) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri; dulu bernama Kepala Djawatan Kepolisian Negara) pertama, menjabat dari 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959. Pada tahun 1952 menjadi anggota dari loge Indonesia Purwo Daksia. Ia menjabat sebagai Kepala kepolisian RI . Soekanto menjadi Suhu Agung dari Timur Agung Indonesia atau Federasi Nasional Mason. Ia juga menjabat sebagai ketua dari Yayasan Raden Saleh yang merupakan penerusan dari Carpentier Alting Stiching.
KEGIATAN FREEMASON INDONESIA


Foto-foto diatas adalah BUKTI bahwa faham aliran ini PERNAH TUMBUH SUBUR di Indonesia.
Referensi : Wikipedia, Serupedia.com, theadventureofava.blogspot.com

Eksistensialisme Menurut Pandangan Martin Heidegger


Biografi Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, Jerman dan mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg di mana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomenologi). Disertasinya berjudul Die Lebre von Urteil in Psicologismus (Ajaran tentang putusan dalam Psikologi). Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortinus. Sebelumnya ia kuliah di Fakultas Teologi sampai empat semester, lalu pindah ke filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, pengaruh filsafat Neo- Kantianisme juga banyak memberi pengaruh padanya.[1]
Pada tahun 1909 ia masuk Universitas Freidburg untuk belajar di fakultas teologi.  Setelah mempelajari. Setelah mempelajari teologi selama empat semester, ia mengubah haluan dan mengarahkan seluruh perhatiannya kepada studi filsafat, ditambah dengan kuliah- kuliah tentang ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemanusiaan. Profesor termashur di fakultas filsafat pada waktu itu adalah Heinrich Rickrt, yang sudah kita kenal sebagai salah seorang penganut aliran neokantianisme. Heidegger memperoleh gelar “doktor filsafat”, pada tahun 1913 dengan disertasi tentang Die Lehre vom Urteil im Psichologismus (Ajaran tentang putusan dalam psikologisme). Dua tahun kemudian ia mempertahankan Habilitationsschrift-nya, yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (ajaran Duns Scotus tentang kategori- kategori dan makna). Tahun 1915 Martin Heidegger mulai mengajar di Universitas Freiburg. Ketika Heidegger di bangku kuliah ia sudah mendalami fenomenologi Edmund Husserl. Ketika Husserl bekerja di Freidberg, kehadiran itu membawa pengaruh besar pada diri Heidegger. Di Universitas ini Husserl mengagumi kepintaran Heidegger dan dipercayakan sebagai asistensinya. Pada tahun 1923, ia diundang ke Universitas Marburg dan diangkat menjadi professor.[2]
Di sini ia bertemu dengan  Rudolf Bultman, seorang teoog terkemuka protestan. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi professor di Freiburg sebagai pengganti Husserl. Ketika Hittler berkuasa di Jerman, Heidegger dipilih menjabat sebagai rector. Sikapnya ini mengundang kritikan banyak orang. Orang menyayangkan keterlibatan Heidegger dalam membantu aktivitas Nazi. Heidegger belakangan sangat menyesal dengan sikapnya itu dan ia mengundurkan diri dan hidup menyepi di desa terpencil sampai akhir hayatnya. Heidegger dikenal sebagai tokoh sentral pemikiran eksistensialisme. Pemikiran eksistensialismenya dipengaruhi Kierkegaard, tokoh pendiri gerakan eksistensialisme. Dalam perkembangan karier dan pemikirannya nama Heidegger menempati deretan teratas dan namanya menjadi sangat terkenal melalui karyanya yang monumental, Sein und zeit.
Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan, Rudolf Bultmann, kemudian kembali lagi ke Freiburg untuk menggantikan Husserl. Di Marburg, ia sempat menyelesaikan karya monumentalnya Sein und Zeit (Being and Time). Karena Husserl orang Yahudi, maka sewaktu ada gerakan Nazi, ia berpisah dengannya. Pada 1933, ia menjadi rector pertama Universitas Freiburg yang diangkat oleh gerakan National Socialist (Nazi) dengan pidato pengukuhannya berjudul “Role of the university in the New Reich” yang menekankan ide tentang timbulnya Jerman Baru yang Jaya. Begitu menyadari kalau dirinya dieksploitasi, maka setahun kemudian, ia meletakan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiunan pada tahun 1957.
Karya- karya Martin Heidegger antara lain:
  1. Sein und Zeit (Ada dan Waktu), 1927
  2. Kant und das Problem der Metaphysic (Kant dan Metafisika), 1929
  3. Wast ist Metaphysic (Apakah Metafisika?), 1929
  4. Holzwege ( Jalan- jalan buntu), 1950
  5. Vortrage und Aufsatze, 1957
  6. Identitat und Differenz, 1969
  7. Zur Sache des Denkes, 1969
  8. Einfuhrung in die Metaphysic, 1953
  9. Was heist Denken, 1954
  10. Nietzhe, 1961
  11. Phanomenologie und theologie, 1970[3]
Selain Sein and Zeit Einfuhrung in die Metaphysic, masih banyak lagi karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas masalah seperti “What is Being?”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga judul – judul mengenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.
 Ada dua hal mendasar yang memecut lahirnya pemikiran eksistensialis Heidegger, yaitu dehumanisasi atau depersonalisasi dimana pasca renaissance dan enlightenment atau revolusi industry, manusia telah menjadi alat- alat industry, alat mekanik, zaman mesin (age of automation mechanism) sehingga betul- betul membuat manusia menjadi robot, depersonalisasi. Yang kedua adalah adanya detotalization. Gejala ini terlihat dengan jelas, baik pada golongan materialisme ataupun idealisme yang mengakui sebagian sebagai keseluruhan juga penempatan manusia sebagai subjek karena menghadapi objek. Manusia hanya sebagai manusia karena bersatu dengan realitas di sekitarnya.[4]

Pemikiran
Heidegger mengangkat metode fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman lansung. Dengan membuang semua konstruksi epistemologis dan logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar akan menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang menempatkan seorang sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek dengan dunia obyek maka akan gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Supaya terhindar dari kegagalan seperti di atas maka Heidegger beratok pada persoalan eksistensi manusia. Segala yang ada di luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda- benda yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang dan dikonseptualkan sebagai berbeda- beda secara structural ke dalam wilayah- wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Eksistensi adalah keadaan actual yang terjadi dalam ruang dan waktu. Eksistensi menunjukan kepada “suatu benda yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya. Sementara esensi adlaah kebalikannya, yaitu sesuatu yang membedakan antara suatu benda dan corak- corak benda lainnya. Esensi adalah yang menjadikan benda itu seperti apa adanya.
Oleh karena itu untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat adalah dengan memahami kata- kata kunci, yakni:
  • Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
  • Seinde, yaitu beradanya benda- benda (things) yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang (vorhanden).
  • Facticity, yaitu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar, dll.
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk menjelaskan ada itu adalah sein und zeit (being and time). Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger tidak bisa terlepas dengan waktu. Karena Dasein itu tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi. Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya belaku bagi being lain dan bukan pada dasein. Dasein mentransendensi  being lain, sebab pada dasein aktus pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu. Dengan demikian dimensi waktu paling penting bagi Heidegger adalah masa mendatang (future, zukunft). Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap- tahap yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu, sekaran dan yang akan datang.
Bagi Heidegger, waktu itu sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan dan potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Heidegger mengatakan dunia luar yang terdiri obyek- obyek hanya digunakan pada setiap tidakan dan tujuan kegiatan manusia. Tetapi meski demikian, tindakan pengetahuan manusia itu tidak terpisah dengan benda- benda di sekitarnya. Heidegger juga membicarakan konsep waktu. Gagasan tentang waktu dikaitkan dengan subyektif manusia. Waktu adalah tahap- tahap eksistensi yang tidak dapat dipisahkan baik masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Dimensi waktu itu sama realnya. Dalam rentangan waktu seorang individu itu senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan. Potensialitas ini menjadi alternative bagi manusia untuk bertindak. Disinilah manusia mempunyai pilihan- pilihan. Di sini pula manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan artinya ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum direalisir itu muncullah perasaan cemas pada manusia. Inilah realitas manusia, ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan. Hal ini pula ia merenung dirinya secara mendalam. Dari intisari pemikiran di atas, lalu Heidegger kembali ke pertanyaan awal, siapakah manusia itu sebenarnya? Apakah ADA yang konkrit itu? Apakah ADA yang tertinggi itu? Apakah arti aku ada?
Semua pertanyaan ini direnungkan manusia dalam mencapai eksistensi dirinya. Kecemasan, pengalaman akan ketiadaan adalah nasib manusia. Heidegger memandang manusia sebagai makhluk yang terlempar di dunia. Manusia seolah hidup di sebuah tempat yang diapit jurang yang sangat dalam. Dia berada diantara ADA dan KETIADAAN. Ia ada karena hidup di dunia dan tiada karena berakhir dengan kematian. Kegelisahan manusia akan pengalaman ketiadaan justru menyadarkan manusia itu sendiri. Ia pada akhirnya harus berjumpa dengan soal- soal seperti temporalitas, ketiadaan, akan pengalaman keterbatasan dan kematian.
Skema pemikiran Heidegger terdapat dalam dua periode, yang dikenal sebagai Heidegger I dan Heidegger II. Pemikiran Heidegger periode pertama termuat dalam Ada dan Waktu. Heidegger membantah anggapan bahwa pemikirannya yang termuat dalam Ada dan Waktu bercirikan eksistensialis.
Manusia dapat mengajukan pertanyaan karena ia mempunyai pengertian akan ‘ada’ itu sendiri. Subyek manusia adalah kesadaran akan dirinya. Kata kesadaran ini menjadi istilah kunci dalam filsafat Heidegger. Ia uga memberikan istilah dasein bagi manusia. Artinya manusia adalah ‘ada disana.. manusia tidak ada begitu saja tetapi berkaitan dengan adanya sendiri. Berbeda dengan benda lain, manusia itu sadar akan adanya. Dalam filsafat eksistensialis, Heidegger menjelaskan bahwa Dasein dicirikaan sebagai eksistensi dan berada dalam dunia. Struktur- struktur dasarlah atau ciri- ciri hakiki dasein disebutnya eksistensialis. Dalam persoalan ini Heidegger memberikan uraian- uraian panjang tentang kematian. Dan dia menjelaskan bahwa dasein merupakan ada yang menuju kematian. Di sini ditekankan bahwa temporalitas dari dasein itu adalah orientasi pada masa yang lampau, sekarang serta waktu yang akan datang, yang semuanya dikaitkan dengan konsep masa yang akan datang.


Realitas atau Kebenaran
Heidegger berpendapat bahwa pertanyaan mengenai hakikat ada itu hanya bisa dijawab secara ontologis dengan menggunakan metode fenomenologi Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman langsung. Dengan membuang semua konstruksi epistemologis dan logis dengan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar, maka akan ditemukan fakta yang sesungguhnya. Heidegger memakai metode fenomenologi Husserl dalam rangka menjawab tiga problem utamanya, yaitu siapakah manusia itu? Apakah ada being yang kongkret? Dan apakah wujud realitas tertinggi itu? Karena metode inilah yang menurutnya paling baik. Perbedaannya, kalau Husserl mengarahkan metode ini pada “kesadaran” manusia, sementara Heidegger kepada “kemanusiaaannya”. Dari sinilah terungkap artian pandangan yang abstrak dari Husserl dan yang konkret bagi Heidegger.[5]
Ada dua alasan pokok mengapa Heidegger menjadikan dasar filsafatnya pada “ada”: pertama, prihatin terhadap situasi zamannya yang kosong dari nuasnsa religious dan kesadarannya akan adanya Tuhan yang disebabkan oleh kosongnya makna “ada” bagi manusia modern. Hanya dengan mengerti sang Ada saja, eksistensi hidup manusia akan menjadi sejati. Kedua, kekosongan dari ketidakmampan manusia memahami Tuhan sehingga tidak mampu menangkap kehadiran- Nya yang juga disebabkan bahsa ucap mengenai “ada” tidak didengarkan, tidak diperbarui, dan tidak dikembangkan lagi, sehingga filosofi harus berusaha menemukan sang Eksistensi, yaitu “ada” untuk dibahaasakan kembali dan diberi arti baru. Dalam usahanya untuk menemukan kembali dan memberi makna baru yang sejati akan yang “ada” (sein, being), maka langkah awal yang dilakukannya adalah dengan menyimpan terlebih dulu pengertian “ada” dari Plato sampai Hegel, kemudian membuat sistematisasi filsafat baru dengan istilah, kata, dan bahasa yang baru agar “berbeda” dengan mereka. Oleh sebab itu, untuk memahami filsafat Heidegger, langkah yang paling tepat yaitu dengan memahami kata kuncinya terlebih dahulu:
  • Dasein yaitu eksistensi manusia di dunia empiris ini.
  • Seinede yaitu beradanya benda- benda yang keberadaannya terletak begitu saja di depan orang
  • Facticity yaitu suatu fakta bahwa eksistensi manusia di dunia empiris ini adalah being yang terlempar.
  • Existentiality yaitu suatu fakta bahwa dasein senantiasa harus mengatasi dirinya sendiri untuk menuju kepada kuasa untuk meng-ada-nya.
  • Forfeiture yaitu dasein sebagai kesenantiasaan yang harus mengada ketika telah tersedia sebagai “at”.
  • Geworfen- sein yaitu situasi keberadaan manusia konkret di dunia ini yang tahu- tahu sudah terlempar dan ada di bumi ini. Ia tidak memilih, tetapi sudah dilahirkan dan ada di jagad ini. \
  • Some yaitu kecemasan mendalam, cemas akan macam- macam hal yang melekat pada situasi keterlemparan manusia di dunia.
  • Zuhandenes yaitu lingkup dunia sarana- sarana alat- alat.
  • Vorhandenes yaitu lingkup dunia benda- benda.
  • Angst, yaitu ketakutan eksistensial, sebauah rasa takut yang bercampur cemas, gelisah, dan bertanya- Tanya yang muncl dan berkembang dari kesadaran manusia bahwa kelak (tanpa diketahui kapan) ia akan mati.
  • Sein zum Tode yaitu langkah demi langkah menuju kematian.
  • Entschlossenheit, yaitu ketegaran dalam menghadapi kematian.
  • Entwurf yaitu yaitu persiapan atau rancangan- rancangan budaya yang diuat begitu menyadari akan eksistensinya guna sungguh- sungguh mengalami dirinya itu eksis.[6]
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasarnya dasar untuk menjelaskan “ada” itu adalah being and time. Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger, tidak bisa terlepas dengan “waktu”. Karena dasein tidak lain adalah waktu itu sendiri. Waktu merupakan masa yang terdiri dari sekarang. Masa mendatang (future) terdiri dari masa sekarang yang belum terjadi dan pada suatu ketika akan terjadi. Akhirnya, masa lampau dipahami sebagai masa sekarang yang dulu pernah ada, tapi kini sudah tidak ada lagi. Struktur pemahaman waktu sebagaimana ada pada pendapat umum hanya berlaku bagi beings lain dan bukan pada dasein. Dasein mentrandensi beings lain, sebab pada dasein pelaksanaan diri dan potensi pelaksanaan diri bertemu. Dengan demikian, dimensi waktu yang paling penting bagi Heidegger adalah masa mendatang.
Dasein selalu berada dalam proses pelaksanaan diri. Proses dimana dasein melaksanakan diri ditunjuk dengan masa mendatang. Waktu lampau dan sekarang harus dimengerti atas dasar waktu mendatang. Waktu adalah tahap- tahap yang tidak dapat dipisah- pisahkan antara masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Bagi Heidegger, waktu itu sama realnya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemugkinan dan potenisalitas ini menjadi alternatif bagi manusia untuk bertindak. Dalam kondisi seperti itulah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, garuh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya dengan tindakan dan perbuatannya. Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal- hal sekitarnya. Karena itu manusia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah.


Aliran
Aliran Martin Heidegger adalah eksistensialisme. Istilah eksistensi dan eksistensial merupakan pengembangan istilah eksistensi. Dalam bahasa kita, kedua istilah ini sama saja. Tetapi dalam bahasa inggris, dua istilah ini dibedakan dengan existential dan existensiell. Kedua istilah ini berasal dari filsafat eksistensialisme Jerman. Kata eksistensial menunjuk pada pengalaman akan realitas dan berbagai dimensi kehidupan. Kemudian menunjuk bahwa kesadaran seseorang yang dalam bertindak dan memilih dapat menciptakan dan mengekspresikan identitas dirinya sendiri dalam proses bertindak dan memilih yang bertanggung jawab. Pengalaman terlibat kuat dalam hidup, baik dalam pemenuhannya maupun dalam kesulitannya.  Kata eksistensial dapat dipakai sebagai kata benda dan kata sifat, yang menjelaskan apa yang menentukan pengertian manusia terhadap dirinya sendiri yang independen terhadap pilihan bebasnya sendiri. Dengan demikian eksistensi seseorang itu adalah sebagaimana adanya dalam dunia. Saya hidup disini, di abad ini dan berbicara bahasa Indonesia dan juga saya akan mati. Semua hal ini sudah ada sebelum terwujudnya kebebasan manusia. Manusia harus berhadapan dengan semua ini dan menyesuaikan diri dengan hal- hal ini.
Eksistensialisme adalah suatu gerakan protes dalam filsafat modern. Istilah eksistensialisme bukan memberikan suatu sistem filsafat secara khusus karena ada sejumlah perbedaan – perbedaan yang besar antara semacam- macam filsafat yang dikelompokan sebagai filsafat eksistensialisme. Tetapi arus dasar gerakan ini sama yakni sikap berontak dan protes terhadap beberapa sifat filsafat tradisional dan perilaku masyarakat modern. Gerakan eksistensialisme ingin mengembalikan persoalan pada eksistensinya. Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala berpangkal pada eksistensi. Titik sentralnya adalah manusia. Eksistensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara berada manusia itu berbeda dengan cara berada dari benda- benda. Kaum eksistensialisme yang terkenal adalah Martin Heidegger.[7]

Pemikiran Martin Heidegger dipengaruhi oleh
Pemikiran Martin Heidegger dipengaruhi oleh Husserl, sebelum melangkah ke filsafat eksistensialisme, Heidegger dekat dengan gerakan fenomenologi. Bahkan dalam menguraikan pemikiran eksistensialis, Heidegger mengangkat metode fenomenologi dari Husserl. Metode ini sangat penting dalam menguji data pengalaman langsung. Dengan membuang semua kontruksi epistemologis dan logis dan mencari suatu perbedaan antara kesadaran dan dunia luar akan menemukan fakta yang sesungguhnya. Teori- teori yang menempatkan seorang sebagai penonton akan tercipta jurang antara subyek dengan dunia obyek maka akan gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Pemikiran Martin Heidegger juga dipengaruhi oleh Kierkegaard tokoh pendiri gerakan eksistensialisme.
Edmund Husserl yang mempengaruhi Martin Heidegger, memandang sebuah ilmu tentang metafisika. Husserl menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu harus berubah dari filsafat sebagai bagian dari ilmu kelaman yang empiris menjadi filsafat sebagai ilmu otonom, apriori, yang disebut dengan fenomenologi. Tetapi fenomenologi sangat berbeda dengan metafisika yang dianut oleh para filosof selama berabad- abad sejak Aristoteles. Metafisika mereka itu berpusat pada realitas tertinggi (Tuhan) yang hanya eksis “di dalam” dan “untuk” realitas itu sendiri. Metafisika ini mengungkapkan wilayah being yang tinggi bukan dalam pengertian being itu ada di luar pengalaman, akan tetapi ia sendiri hadir secara pasti di dalam pengalaman itu sendiri.[8]


Pemikiran Martin Heidegger mempengaruhi
Pemikiran Martin Heidegger mempengaruhi Herbert Marcuse. Pada tahun 1923 Herbert Marcuse meraih gelar “doktor filsafat”, dengan sebuah disertasi yang menyangkut kesusasteraan. Sesudah itu selama enam tahun ia bekerja dalam bidang penjualan dan penerbitan buku. Pada tahun 1929 ia kembali ke Freidburg untuk melanjutkan studinya pada Husserl dan Heidegger. Dibawah bimbingan Heidegger ia mempersiapkan Habilitationsschrift tentang Hegels Ontologie und die Grundlegung einer Theorie der Geschichtlichkeit (1932) (Ontologi Hegel dan pendasaran suatu teori tentang historisitas).  Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Marcuse. [9]
Herbert Marcuse lahir pada tanggal 19 juli 1898 di Berlin, Jerman dalam keluarga Yahudi dan wafat di Munich, 30 Juli 1979 saat ia berusia 81 tahun. Di masa Perang Dunia 1 ia memasuki wajib militer dan mulai terlibat aktif dalam politik militer dan menjadi anggota Partai Sosial Demokratik (Sosial Democratic Party), 1917 namun tak lama kemudian keluar dari partai tersebut tahun 1918. Di Berlin dan Freidburg, Herbert Marcuse belajar filsafat dan menjadi mahasiswa Martin Heidegger.[10]


Dampak Pemikiran Martin Heidegger
Filsafat Martin Heidegger (1889- 1973) sangat berpengaruh dalam permasalahan epistemology dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu permasalahan mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya di dunia ini melalui asumsi- asumsi pemahaman. Pengertiannya adalah asumsi, harapan dan konsep dipaparkan sebelum berfikir atas eksperimen. Analisa kehidupan sehari- hari membuktikan, bahwa sesuatu yang dapat dipahami merupakan akibat dari faktor yang tidak diketahui yang didapatkannya sebelum berfikir.
Setiap interpretasi, termasuk ilmu biologi, membutuhkan asumsi, contohnya ketika seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, langkah awal setiap penafsiran, selalu ada terlebih dahulu pendapat atas segala eksperimen. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai eksisetensi manusia yang memiliki sarana segala kondisi seseorang akan adanya pendapat. Heidegger juga meyakini bahwa penafsiran Desain dan eksistensi berdasar pada teks. Karena desain selalu memahami dan menafsirkan. Desain menafsirkan dunia dan diri, yakni memandang kehidupannya dengan metode khusus.
Bagi Heidegger, filsuf Jerman dengan karya Being & Time yang sangat berpengaruh, diri terkait dengan kecerdasan identitas. Melalui filsafat Martin Heidegger eksistensi hidup manusia menjadi sejati, karena manusia mempunyai pengertian tentang keberadaannya hidup di dunia dan kesadarannnya akan Tuhan. Pengaruh dari filsafat Heidegger yaitu manusia  mampu menangkap kehadiran-Nya yang disebabkan bahasa ucap mengenai “ada” .
Percaya bahwa tak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Kebenaran tidak dapat dicapai secara abstrak. Oleh karena itu eksistensialis menggunakan bentuk- bentuk sastra dan seni untuk mengekspresikan perasaan dan hati. Menekankan pada keputusan dan tindakan, sementara pemikiran dan analisis tidaklah mencukupi. Manusia modern harus melepaskan diri dari keterkungkungan dan ketergantungan pada segala sesuatu di luar dirinya.

Pandangan Martin Heidegger berseberangan dengan pandangan
Dalam bidang filsafat, ada dua kutub pemikiran yang tengah menjadi mainstreamnya Martin Heidegger yaitu materialisme (Anaxagoras, Democritos) dan idealism (Socrates, Plato). Materialisme menempatkan materi sebagai yang utama (primer), sementara kesadaran diposisikan sebagai yang sekunder. Bagi mereka, materi ada sebelum jiwa (mind), sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. Sebaliknya, idealism menempatkan ide sebagai yang utama, sementara materi tidak lebih sebagai proyeksi dari ide. Dan upaya untuk mendamaikan antara keduanya itu sudah dilakukan oleh Aristoteles, namun tidak berhasil. Pertentangan keduanya kemudian berkembang dengan menemukan bentuk barunya, empirisme dan rasionalisme. Empirisme dengan dipelopori para filosof Inggris seperti F. Bacon, G. Berkeley, T. Hobbes, D. Hume, dan lainnya, menyatakan bahwa pengalaman adalah yang primer. Pengetahuan empiris ini kemudian memberikan refleksi pada kesadaran manusia. Sementara rasionalisme yang dipelopori oleh R. Descartes, Leibniz, Spinoza menempatkan rasio sebagai sentra persoalan filsafat. Pandangan filosofis yang demikian itulah yang kemudian mau dikoreksi oleh filsafat eksistensialisme ini. Bila Descartes menyatakan saya berpikir, maka saya ada, maka kalangan eksistensialis membaliknya menjadi saya ada, maka saya berpikir. Persoalan hubungan antara kesadaran (consciousness) dengan ada (being), antara pikiran dan materi, juga apakah pengetahuan tentang dunia itu dapat dikaitkan dengan dunia itu sendiri atau apakah kesadaran dapat dikaitkan dengan ‘ ada ‘.

DAFTAR PUSTAKA
Zubaedi. 2007. Filsafat Barat. Ar- russ Media: Jogjakarta
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Rineka Cipta: Jakarta
Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX Inggris- Jerman. PT. Gramedia: Jakarta
[1] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 137
[2] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 140.
[3] Save M. Dagun, 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 79.
[4] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 152.
[5] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 154-155
[6] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 157- 158
[7] Save M. Dagun. 1990. Filsafat Eksistensialisme. Hlm 15-16.
[8] Zubaedi, 2007. Filsafat Barat. Hlm 121- 122.
[9] K. Bertens. 1990. Filsafat Barat Abad XX. Hlm 196.
[10] Ahmad, Sohelmi. Pemikiran Politik Barat. Hal 387- 388.

Filsafat Hidup

Filsafat Hidup 

Filosofi hidup hampir berkaitan dengan prinsip hidup. Semua
orang yang masih eksis mempunyai pegangan hidup, tujuan hidup,
prinsip hidup maupun filosofi hidup. Tentunya hal ini cukup berbeda
di antara satu dengan lainnya dalam menyikapinya. Karena, setiap
orang itu tidak sama, setiap orang itu unik, setiap orang merupakan
mahluk individualisme yang membedakan satu dengan lainnya.

Ada yang mempunyai tujuan hidup yang begitu kuat, namun
prinsip hidupnya lemah, atau sebaliknya ada orang yang mempunyai
tujuan hidup yang lemah, namun memiliki prinsip hidup yang kuat. Ini
tidaklah menjadi suatu permasalahan, yang penting seberapa baiknya
seseorang menyambung hidupnya dengan berbagai persoalan dunia yang
ada, atau dengan kata laiinya bagaimana kondisi psikologis/jiwa
seseorang dalam menjalani hidupnya.

Prinsip hidup masih jauh kaitannya dengan psikologi, namun
psikologi mau tau mau berhubungan langsung dengan prinsip hidup.
Karena, dengan menijau prinsip hidup seseorang dapat diketahui
kondisi jiwa seseorang. Prinsip hidup dan filosofi hidup sangat luas
cakupannya, tidak hanya ditinjau dari segi psikologi, tapi seluruh
cabang ilmu pengetahuan yang ada. Prinsip hidup seseorang dapat
diambil dari perspektif psikologi, agama, seni, literatural,
metafisika, filsafat dsb.

Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai
panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar.
Adapula sebagaian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup
dan filosofi hidup, ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir dan
sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi
hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras dan keras, Jadi,
kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi
hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang
keras.

Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau
prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha
mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang
baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang
yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya
dengan terlalu kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup
dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan
tidak melampaui, ia berada di tengah-tengah. Orang yang kuat adalah
orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya. Sehingga ia
mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh
filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa
lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang.

Jika ditinjau dari sisi psikologi. Orang-orang yang di atas juga
dapat dikategorikan, seperti orang yang mempunyai jiwa yang lemah,
jiwa yang sedang dan jiwa yang kuat. Namun, untuk yang berjiwa
sehat, seseorang tidak hanya dilihat dari jiwa lemah, sedang ataupun
kuatnya. Penerapan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari
itulah yang penting.

Pada dasarnya, tujuan dan prinsip hidup seseorang itu baik dan
bersih. Pada saat seseorang dalam keadaan tenang, ia membuat
berbagai tujuan dan prinsip dalam hidupnya, namun ketika diterapkan
timbul beberapa hambatan dari luar dirinya atau adanya pengaruh dari
lingkungan eksternalnya. Salah satu pengaruh terbesar dari luar
dirinya adalah panca indera. Panca indera yang tidak terjaga dengan
baik akan membuat seseorang terpeleset dari tujuan dan prinsip
hidupnya. Telinga bisa mendengar, mata bisa melihat, mulut bisa
berbicara. Semua itu harus dikendalikan dengan baik.
Sebagai contoh konkret, saya mempunyai tujuan hidup menjadi
seseorang yang berguna untuk menolong semua mahluk hidup sampai ajal
menemui dan filosofi hidupnya adalah bila ada orang baik kepada
saya, maka saya akan baik kepadanya, dan bila ada orang jahat kepada
saya, maka saya akan baik juga kepadanya. Dari filosofi hidup ini,
jika dilihat dari sisi psikologinya, orang tersebut mempunyai jiwa
yang sehat, tidak mendendam dan bahagia menerima hidup. Namun, itu
hanyalah sebuah filosofi hidup, yang terpenting adalah bagaimana ia
menerapkan dalam perilakunya, apakah bisa sesempurna dengan filosofi
hidupnya atau hanya sekedar membuat filosofi hidup tetapi tidak
dijalankannya ataupun ia membuat suatu filosofi hidup, namun ia
susah menjalannya karena tidak bisa menahan godaan atau hambatan
dari luar dirinya.

Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari seorang pemikir-pemikir
jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut
dianggap sebagai seorang filsuf, pelopor kebijakan. Masing-masing
negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan
filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang
kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam
berkarya. Terbukti begitu banyak para filsuf terkenal kebanyakan
dari bangsa Yunani, seperti Aristoteles, Plato dan Socrates.
Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu
pengetahuan, maka dia disebut Bapak Filsafat. Sedangkan, dari ilmu
psikologi, Bapak Sigmud Frued disebut-sebut sebagai Bapak Psikologi
yang paling banyak memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan.
Kedua tokoh dunia ini sama-sama memiliki pemikiran yang luar biasa
untuk menciptakan pengetahuan-pengetahuan mengenai asal usul dari
segala sesuatu, meskipun cakupannya berbeda, namun, psikologi dan
filsafat tidak bisa dipisahkan dan sebaliknya. Banyak tokoh
psikologi yang semula mempelajari filsafat kemudian melanjutkan
pengetahuannya ke bidang psikologi.
Beberapa kata kutipan yang diambil dari kedua tokoh ini, yakni :

” Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan, itulah yang kau
sebut kebahagiaan, namun aku percaya bahwa suatu keadaan di mana
orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan yang tertinggi
(Socrates)”.
Dan,

” Mereka yang percaya, tidak berpikir. Mereka yang berfikir, tidak
percaya (Sigmud Frued)”.

Disini dapat dilihat, bahwa terjadi suatu studi banding antara kedua
ilmu tersebut, Masing-masing membicarakan asal asul segala sesuatu
menurut perspektif ilmunya. Namun, dari kedua ilmu tersebut
mempunyai suatu kesamaan, bahkan banyak kesamaan yang membahas
mengenai asal mulanya sesuatu yang pasti ada hubungannya dengan
manusia dan alam sekitarnya.

Seorang Socrates membicarakan kebahagiaan dan seorang Sigmund Frued
membicarakan pikiran, tentunya kedua hal ini mempunyai kaitan yang
cukup besar. Filosofi hidup yang diberikan oleh Socrates mengenai
kebahagiaan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan Ilmu
psikologi yang diberikan oleh Sigmund Frued mengenai pikiran (alam
sadar atau alam bawah sadar) dapat dijadikan landasan seseorang
untuk mencapai kebahagiaan.

Oleh sebab itu, seseorang yang mempelajari psikologi maupun
tidak, harus memiliki satu tujuan hidup atau filosofi hidup agar
bisa berkembang, dan seseorang yang mempelajari filsafat maupun
tidak, harus memperhatikan apakah dan bagaimanakah agar filosofinya
dapat diterapkan dengan baik dan benar sehingga mempunyai
psikologis/jiwa yang sehat untuk maju dan berhasil.
“Jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu,
maka itulah inti pengetahuan’.

Tokoh-Tokoh Filsafat Di Indonesia


Tokoh-Tokoh Filsafat di Indonesia

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
  Filsafat Indonesia adalah fenomena yang mulai marak di era 1960-an.
1. M. Nasroen
Seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia. Puncak kariernya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia. Karyanya ialah Falsafah Indonesia, yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagaibuku langkadengan Nomor Panggil (Shelf Number) 181.16 NAS f. Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dantidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Beberapa kutipan karya M. Nasroen : 
Sebagai hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam kenyataan terdapat bermatjam-matjam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula. (M.Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Pantja Sila ini adalah pantjaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnja. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Saja jakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami nenek mojang Indonesia membatja, jaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan jang terdapat pada alam itu. Nenek mojang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu mentjiptakan adat itu dan adat itulah jang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnja. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Untuk mengetahui dan menjelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menjelidiki adat dan pantun Indonesia. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
2. Soenoto
Merupakan pengkaji Filsafat Indonesia generasi kedua di era 1980-an.
Pendidikan kefilsafatan diperoleh dari UGM Yogyakarta (Sarjana dan Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit Amsterdam (Doktor Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap UGM (sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat Pancasila di Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri RI. Karya-karyanya ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, Pemikiran tentang Kefilsafatan, dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang amat detail tentang tradisi itu
3. R. Parmono
Lahir pada tahun 1952, R. Parmono menempuh kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana Filsafat), 1976 di Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM pula. Sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang dirintisnya bersama-sama dengan Soenoto. Selain mengajar di UGM, beliau juga salah seorang anggota Peneliti Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam. Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia ialah: Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia ,Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984). Dalam bukunya Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi-ulang istilahFilsafat Indonesia’, sebagaipemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ . Jadi, Filsafat Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.
  Kutipan-kutipan:
Bagi bangsa Indonesia pandangan hidup itu dapat dipelajari dari khazanah adat, istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah.
(R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985)
Hasil real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah.
(R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985)
4. Jakob Sumarjo
Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten pada tahun 1939. Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).
  Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahasRingkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia.
   
Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggungFilsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dariFilsafat Indonesia Lama’.
Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebutFilsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).